Dengan menggunakan kaki tangan pelayan, Belanda hendak melenyapkan nyawa Bung Karno dalam tawanan. Eksekusi urung terjadi lantaran si pelayan balik melawan.
Tiga hari setelah Belanda melancarkan agresi militer yang kedua, Presiden Sukarno dipaksa meninggalkan Istana Negara Yogyakarta.
Hanya lima menit waktu yang diberikan tentara Belanda bagi Sukarno untuk berkemas dan pamitan kepada keluarganya. Terbayang oleh Sukarno barangkali itulah ucapan selamat tinggal terakhir.
Pesawat Bomber B-25 Mitchell memboyong Sukarno ke Berastagi di Tanah Karno, Sumatra Utara. Selain Sukarno, turut serta pejabat tinggi Republik lainnnya, yaitu Sutan Sjahrir (penasihat presiden) dan Haji Agus Salim (menteri luar negeri).
Rombongan tiba pada 22 Desember 1948. Mereka ditempatkan di suatu pesanggrahan di Desa Lau Gumba sebagai tawanan Belanda.
Kota Berastagi terletak di dataran tinggi dan berhawa sejuk. Sejak masa kolonial, Berastagi menjadi tempat beristirahat pembesar-pembesar Belanda. Mereka banyak mendirikan pesanggrahan untuk berlibur atau berakhir pekan.
Pesanggrahan yang ditempati Sukarno, Sjahrir, dan Agus Salim dulunya merupakan tempat perwira Belanda. Meski menempati rumah yang nyaman, ketiganya hidup laiknya orang tahanan.
Hunian mereka dilapisi kawat berduri setebal dua lapis. Di luar itu, enam orang penjaga bersenapan memantau mondar-mandir.
Menculik Sukarno Secara Terhormat
Dalam otobiografinya, Sukarno menyatakan firasat dirinya bakal dibunuh di Berastagi. Bermula dari seorang pelayan wanita yang datang menyelinap ke kamarnya membawa kabar buruk pada sore hari kedua.
Kata seorang opsir Belanda, Sukarno akan dihukum di hadapan regu tembak, jadi tidak perlu diberi makan. Pengakuan itu didapat si wanita pelayan sebagai jawaban ketika hendak menyiapkan menu makanan bagi para tawanan.
“Aku dihinggapi oleh perasaan takut yang tak pernah kurasakan seumur hidupku. Keringat dingin memercik keluar,” kenang Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams.
Jurnalis senior Muhammad Tuk Wan Haria (TWH) punya kisah lain tentang rencana pembunuhan Sukarno di Berastagi.
Sebelum dihabisi, Belanda rupanya ingin menjebak Sukarno lebih dulu dengan menawarkan sogokan materi. Keterangan ini berasal dari seorang pelayan pesanggrahan Lau Gumba yang pernah diwawancarai oleh TWH.
“Namanya Karno Sobiran. Dia yang melayani dan kasih makan-minum Sukarno,” terang Pak TWH kepada Historia.id beberapa tahun silam.
Pertemuan dengan Karno Sobiran bermula ketika TWH mencari foto-foto dan dokumentasi tentang pengasingan Bung Karno di Sumatra Utara semasa revolusi.
Karno Sobiran, seperti diungkap TWH, tahu persis bahwa Belanda memang merancang siasat melenyapkan Sukarno. Rencana itu sudah dijalankan pada pekan pertama pengasingan di Berastagi.
Sekali waktu, datanglah iring-iringan konvoi dari Medan. Salah satu mobil menurunkan dua peti bermuatan penuh. Di ruang makan pesanggrahan, muatan peti itu dibuka. Mata Karno Sobiran tercekat saat menyaksikan satu peti berisikan uang gulden, satu lagi isinya pakaian mewah.
Belanda barangkali tahu Sukarno gemar bersolek dan juga butuh uang. Itulah imbalan yang ditawarkan untuk menjerat Sukarno.
Seorang pejabat Belanda kemudian menyodorkan selembar surat kepada Sukarno. Isinya kemungkinan berkisar pada kesepakatan agar Sukarno menyerah atau membatalkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Di bawah todongan tentara Belanda, Sukarno diminta untuk menandatangani surat tersebut. Sukarno menolaknya dengan alasan diplomatis.
Sebagai Bapak Rakyat, dia harus meminta persetujuan rakyatnya terlebih dahulu. Penawaran gagal. Sukarno kembali masuk ke kamarnya. Barang suapan dibawa pulang ke Medan.
Seminggu kemudian, Sukarno masih ditawarkan hal yang sama. Lagi-lagi Sukarno menolak. Opsi untuk melenyapkan nyawa Sukarno pun ditempuh menjelang hari-hari terakhir pengasingan di Berastagi.
Ketika Karno Sobiran hendak mengantarkan makanan ke kamar Sukarno, seorang tentara Belanda mencegatnya. Si tentara menitipkan racun untuk dituangkan Sobiran ke dalam makanan.
“Hei, mari sini! Ini racun kau masukkan ke dalam makanan itu tamu supaya dia mampus,” perintah si tentara kepada Karno Sobiran.
“Gila kau! Kau sendiri kalau berhadapan sama dia kaya tikus kena minyak!” hardik Karno Sobiran dalam bahasa Belanda.
Di luar dugaan, Karno Sobiran malah balik menentang perintah. “Dilawannya ye kan. Tak peduli dia ditembak atau dibunuh,” kata TWH dalam logat Medan yang khas. Si tentara tak berkutik sembari memendam jengkel.
Dua belas hari lamanya Sukarno, Sjahrir, dan Agus Salim menjadi tawanan di Berastagi. Karena alasan keamanan yang makin tak kondusif, mereka kemudian dipindahkan ke Parapat, kota kecil dekat Danau Toba.
Pejuang-pejuang Republik di Tanah Karo memang berusaha untuk membebaskan Sukarno keluar dari pesanggrahan.
Menurut TWH, rencana menghabisi Sukarno di Berastagi tak lepas dari peran Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima Angkatan Perang Belanda di Indonesia.
Setelah agresi militer kedua, Jenderal Spoor berpikir eksistensi Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Untuk memungkasi tujuan itu, maka Sukarno mesti dibungkam.
Gagal membunuh Sukarno, justru Spoor yang menemui ajalnya tak lama kemudian, pada 25 Mei 1949. TWH yakin betul Jenderal Spoor tewas dalam penyergapan tentara Republik di Tapanuli Tengah.
“Betul. Saya sudah tulis buku Tewasnya Jenderal Spoor di Tapanuli Tengah berdasarkan strategi yang diatur oleh Letkol Maraden Panggabean. Saya bertanggung jawab,” tandas TWH yang kini berusia 90 tahun.
Sumber: historia
Foto: Sukarno, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim dalam tahanan Belanda di Parapat, 1949. Sebelum ke Parapat, ketiganya ditawan di pesanggrahan Desa Lau Gumbang, Brastagi, Tanah Karo. Sumber: Nederlands Instituut voor Militaire Historie