Banyak Kontroversi, Menkominfo Akui RUU Penyiaran Inisiatif DPR -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Banyak Kontroversi, Menkominfo Akui RUU Penyiaran Inisiatif DPR

Minggu, 19 Mei 2024 | Mei 19, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-05-19T16:05:26Z

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengakui kalau dirinya belum menerima draf resmi Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran.

“RUU Penyiaran belum secara resmi diberikan kepada Pemerintah, dalam hal ini kepada saya selaku Menteri Komunikasi dan Informatika. Jadi, kita belum bisa berkomentar terlalu banyak soal RUU Penyiaran,” kata Budi Arie lewat siaran pers Kominfo, dikutip Minggu (19/5/2024).

Menkominfo bahkan menduga kalau draf Revisi UU Penyiaran yang menjadi kontroversi publik saat ini adalah produk hoaks.

“Siapa tahu hoaks. Kita mesti tanya terlebih dahulu ke pembuatnya," lanjut dia.

Budi Arie beralasan kalau draf RUU Penyiaran yang beredar berisi kontroversi soal larangan jurnalisme investigasi. Ia menilai kalau publik justru memerlukan jurnalisme berkualitas.

"Sebab, dari draft yang beredar ada kontroversi seperti mengenai tayangan laporan investigasi. Padahal kita perlu jurnalisme berkualitas,” timpal dia.

Menkominfo menjelaskan, revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Maka dari itu, Budi Arie telah menghubungi Ketua Komisi I DPR RI.

“Beliau sampaikan ini kan masih draft, belum diskusi. Kita juga belum mengetahui mana versi yang asli dan versi yang bukan. Saya sudah dapat draft yang beredar di kalangan publik itu, setelah membaca kembali, ternyata kok terlalu melebar,” beber dia.

Diketahui Pemerintah sedang menyusun Daftar Inventaris Masalah untuk melihat sejumlah klausul dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang perlu direvisi.

Budi Arie menilai, keberadaan Undang-Undang Penyiaran telah lebih dari 20 tahun sehingga perlu mengadopsi perkembangan teknologi baru.

“Revisi UU Penyiaran ini kan bentuk dari penyesuaian zaman. Ketika Undang-Undang itu diluncurkan pada tahun 2002, belum ada yang namanya Facebook, Instagram, TikTok, dan sebagainya. Jadi, cara masyarakat mengkonsumsi media siaran turut berubah,” tandasnya.

Dewan Pers tolak RUU Penyiaran

Sebelumnya Dewan Pers bersama seluruh organisasi pers nasional tegaskan menolak draf Revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang digodok di Baleg DPR RI.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan kalau draf RUU Penyiaran ini tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945.

"Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak, sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam UUD 45," kata Ninik dalam konferensi yang digelar secara virtual, Selasa (14/5/2024).

Ninik mengakui ada beberapa alasan soal penolakan draf RUU Penyiaran ini. Pertama dalam konteks Politik-Hukum, regulasi tersebut tidak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 99 dalam konsideran di dalam RUU ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," beber dia.

Alasan kedua, lanjut Ninik, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu alasan pers Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas.

Ninik berpandangan kalau apabila perubahan ini diteruskan, sebagian aturan dalam RUU Penyiaran itu menyebabkan media menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak prostitusional, dan pers yang tidak independen.

Alasan ketiga, dari sisi proses, Ninik menegaskan kalau RUU ini menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.

"Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," imbuhnya.

Ninik menambahkan, Putusan MK itu juga mengatur kalau para penyusun kebijakan harus menjelaskan kenapa masukan masyarakat tidak diintegrasikan dalam regulasi baru.

"Dalam konteks RUU Penyiaran ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40, tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini," katanya.

Kemudian terkait substantif, Ninik menjelaskan kalau faktor pertama yakni adanya pasal yang melarang media investigasi. Menurutnya, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4.

"Sebetulnya dengan UU 40, tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam satu media jurnalistik profesional," paparnya.

Kedua yakni soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Ninik menyebut kalau RUU ini justru membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa menyelesaikan sengketa pers.

Padahal lembaga tersebut tidak memiliki mandat penyelesaian etik terhadap jurnalistik. Ninik menilai mandat itu ada di Dewan Pers dan sudah dituangkan dalam UU Pers.

"Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dengan yang lain tidak tumpang tindih. Karena pengaturan ini juga diatur di dalam Perpres 32 Tahun 2024 (Publisher Rights) yang baru saja disahkan oleh Presiden," katanya.

"Pemerintah saja mengakui begitu ya kira-kira, tetapi kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa jurnalistik diserahkan kepada penyiaran ya? Ini betul-betul akan menyebabkan cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma Undang-Undang yang ada," tegas Ninik.

Sumber: suara
Foto: Menkominfo Budi Arie Setiadi saat meresmikan Indonesia Digital Test House (IDTH) atau Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT) di Depok, Jawa Barat, Kamis (2/5/2024). [Suara.com/Dicky Prastya]
×
Berita Terbaru Update
close