“Pendidikan tanpa mendidik hati, adalah bukan pendidikan sama sekali”----(Aristoteles)
Dalam berbagai situasi, masalah pendidikan nyaris tak pernah berhenti di diskusikan, bukan hanya terkait kurikulum, metodologi, tetapi lebih pada aspek praktek pendidikan baik itu pelaku (pendidik maupun peserta didik) maupun pemerintah. Problematik terus menggelinding ditengah kehidupan masyarakat. Semua orang pasti tahu bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang tak terbatas, karena pendidikan adalah sumber pengetahuan manusia, karenanya transformasi dan perkembangan dunia sangat di ilhami oleh gerakan tehnologi yang tentunya bersumber dari basis dunia pendidikan.
Dunia dan manusia menurut Nietzsche dalam pandangan Nihilisme-nya, dianggap tak memiliki tujuan. Sekalipun kaum agamawan menentang dengan kritis dengan mengatakan bahwa manusia secara kodrati lahir di dunia karena memiliki tujuan yakni hadir sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Karenanya, manusia dan dunia adalah dua dimensi yang tak terpisahkan, begitu pula dengan relasi manusia dengan pendidikan (pengetahuan). Pendidikan adalah satu dimensi urusan manusia dengan kecerdasan yang akan dipilihnya. Perubahan seseorang dan masyarakat, tidak semata terjadi secara evolusioner (alamiah), namun perubahan besar pada kehidupan manusia dan masyarakatnya sangat ditentukan oleh laju perkembangan saintek yang di dasari dari dunia pendidikan.
Secara sederhana, pendidikan adalah satu gerakan perubahan kedewasaan (maturity), yang dimulai dari ayunan sampai ke liang lahat. Pendidikan menuntut terjadinya perubahan usia, pemikiran, serta pola sikap dan perilaku. Di sana juga ada kemerdekaan (pembebasan), karenanya, dunia pendidikan adalah dunia tanpa batas. Paulo Freire, adalah salah satu tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi Freire, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa.
Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu, maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan yang termarginalkan.
Kritikan dan pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Bukan tanpa alasan bahwa dunia pendidikan di Indonesia mulai tergerus karena hantaman tehnologi yang merasuki dunia anak-anak. Tontonan dan gaya hidup juga turut merespon kehidupan peserta didik menjadi serba instan, berperilaku kasar, dan bertindak amoral. Kekerasan guru dengan muridnya demikian pula sebaliknya adalah fenomena yang harus di bedah terkait mutu pendidikan. Literasi rumah sebelum sekolah, nyaris tak berfungsi sebab anak-anak telah dibekali smartphone dan sekaligus menjadi alat pengendali. Bukan lagi ibu atau ayah sebagai contoh yang baik baginya, tetapi tiktok dan tontonan lewat youtobe membentuk karakter anak-anak sejak dini. Padahal dalam pendekatan agama disebutkan “ didiklah anakmu sejah masih dikandungan”. Secara harfiah bahwa mendidik haruslah di mulai dari kandungan seorang ibu---hingga ke jenjang pendidikan tinggi.
Situasi demikian ini tentu sangat berbahaya dalam dunia pendidikan, karenanya, tafsir atas ideologi pendidikan paling tidak merespon kesadaran kritis dari Paulo Freire, bagaimana menemukan dunia yang transformatif sekaligus menyelamatkan manusia dari lipatan dunia yang sempit. Bukankah pendidikan adalah dunia yang membebaskan?. tentunya pendidikan yang diharapkan adalah bagaimana membangun mentalitas kebangsaan dengan cara membangun karakater kebudayaan sebagai maindset dalam proses pendidikan. Manusia secara individu harus diproduksi oleh sistem pendidikan yang membebaskan. Bukan sebaliknya menjadi instrumen penindasan.
Secara filosofis, pendidikan tidak semata melahirkan kepintaran namun lebih dari itu pendidikan paling tidak harus melahirkan kedewasaan, kebebasan, kecerdasan, dan yang paling p[enting adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis adalah salah satu bukti terjadinyna transformasi individual dalam membentuk manusia yang dewasa atas dasar kritisisme.
Tentu hal ini tak mudah untuk dicapai mengingat infrastruktur dan kultur pendidikan yang belum terbangun secara baik. Karenanya negara harus hadir memberi perhatian khusus bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Dan kita yakin itu, bahwa negara dan pemerintah mampu menciptakan itu.
Perlu disadari bahwa pendidikan tidak hanya menjadi modal untuk menunjukkan kedudukan status sosial, dalam aspek yang lebih luas pendidikan dapat menjadi modal untuk melawan belenggu ketertindasan. Paulo Freire adalah seorang tokoh filsafat pendidikan yang dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brazil. Ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, dari pengalaman itu membuat Freire mampu mengenali dan membangun “solidaritas dengan anak-anak miskin dari pinggiran kota”. Pengalaman menjadi orang miskin di usianya yang masih kecil mengenalkan Freire pada suatu fenomena “budaya diam” dari orang-orang yang tersisihkan, sangat mustahil untuk berani dan kritis terhadap keadaan yang sedang mereka alami. Hal ini menjadi jelas bagi Freire bahwa pendidikan yang ada menjadi alasan utama dari adanya budaya diam tersebut.
Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelaparan yang ia alami diakibatkan oleh keseluruhan antara kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya paternalisme. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, Freire kemudian mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan, Freire menggunakan pemikiran dari para pemikir terdahulu untuk mengembangkan perspektif pendidikan yang secara otentik tumbuh dari kondisi yang dialaminya dan mencoba menjawab keadaan nyata di Amerika Latin.
Konsep pendidikan yang dibawa oleh Paulo Freire sejatinya adalah usaha penyadaran akan masalah kemanusiaan seperti ketidakadilan, eksploitasi oleh kekuasaan, penindasan, dan kekerasan dari penindasan. Freire mengkritik konsep pendidikan yang menjadi “alat penjinakan” nalar kritis manusia, konsep pendidikan ini menghilangkan kemampuan berpikir kritis manusia yang bertujuan untuk membuat manusia menjadi makhluk yang mudah diatur dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan suatu kelompok.
Kritik Freire adalah suatu respon atas adanya dehumanisasi, dalam perspektif yang tidak sehat kaum tertindas menganggap dirinya sebagai “benda”, perspektif ini lahir atas ketergantungan emosional kaum tertindas dimana mereka menganggap bahwa dirinya dimiliki oleh kaum penindas karena doktrin yang ditanamkan secara terus-menerus. Freire menekankan bahwa kebebasan bukan suatu hal yang turun dari langit, kebebasan didapat melalui perjuangan, pendidikan harus melahirkan kesadaran dan kesadaran itu diharapkan dapat melepaskan bayang-banyang penindasan dan mewujudkan kebebasan bagi kaum tertindas.
Sekedar merujuk pada sistem pendidikan Indonesia yang seringkali mengalami gonta ganti regulasi dan peraturan yang kadang tidak substantif, seperti penghapusan pramuka dari ekstrakokulikuler (siswa dan mahasiswa), perombakan baju seragam siswa---yang sesungguhnya sangat membebani orangtua peserta didik. Bahkan yang lebih fenomenal adalah kenaikan UK di berbagai perguruan tinggi, yang konyolnya bagi kementerian pendidikan melalui sekjen dikti mengatakan bahwa perguruan itnggi adalah tersier. Artinya pendidikan bukan lahi menjadi hak dasar bagi setiap warga negara. Terkesan pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya dan berduit. Ini pesan disyaratkan “Orang miskin di larang kuliah, dan orang miskin dilarang sakit”
Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan telah melakukan distorsi nilai-nilai kemanusiaan dengan cara menjadi agen kapitalisasi-liberalisasi pendidikan. Padahal dibeberapa negara liberal sekalipun justru model pendidikan seperti ini sudah ditolak adan dianggap berbahaya bagi kehidupan manusia. Karena dianggap sebagai alat penindasan.
Bagi Freire pendidikan menjadi alat penting untuk mengembalikan fitrah manusia secara utuh, bukan untuk menjadi alat untuk memenuhi kepentingan suatu golongan. Menurut Freire pendidikan harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan dan kekuatan otoritas kekuasaan. Konsep pendidikan pembebasan Freire dilandasi oleh realitas ketertindasan yang dialami oleh sebagian besar manusia atas ketidakadilan dan pendistorsian nilai-nilai kemanusiaan. Nadiem Makarim setidaknya perlu membaca tesis-tesis demikian dari Paulo Freire agar dapat memahami apa tujuan pendidikan yang sesungguhnya. dan sekaligus menempatkan negara sebagai yang harus menegakkan prinsip dan konstitusi negara bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak bagi kemanusiaan”.
“to become a real human it’s educated”---
Untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, maka terdidiklah ---(saifuddin)
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS (lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)
Penulis Buku : Politik tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, catatan Cacat-an Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.