Mengacu pada turunnya kepercayaan dari fungsi-fungsi administratif, lembaga, atau kepemimpinan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973 oleh Jurgen Habermas, seorang sosiolog Jerman, dan filsuf. Habermas memperluas konsep tersebut, mengklaim bahwa dengan krisis legitimasi, lembaga atau organisasi tidak memiliki kemampuan administrasi untuk mempertahankan atau membangun struktur yang efektif dalam mencapai tujuan akhir mereka.
istilah itu sendiri telah disamaratakan oleh ilmuwan lain untuk merujuk tidak hanya pada ranah politik, tetapi untuk struktur organisasi dan kelembagaan. Meskipun tidak ada kebulatan suara di antara para ilmuwan sosial dalam mengklaim keberadaan krisis legitimasi, cara dominan dalam mengukur krisis legitimasi adalah dengan mempertimbangkan opini publik terhadap organisasi yang bersangkutan.
Sehubungan dengan teori politik, negara dianggap sah ketika warganya memperlakukan negara sebagai pemegang dan pelaksana kekuasaan politik yang sesuai. Sedangkan istilah yang ada di luar ranah politik, karena meliputi sosiologi, filsafat, dan psikologi, legitimasi ini sering dirujuk sebagai kehormatan kepada pelaku, lembaga, dan tatanan politik yang dibentuk. dengan kata lain, aktor, kelembagaan, dan tatanan sosial dapat dilihat sebagai hal yang sah ataupun tidak sah. Ketika aktor-aktor politik terlibat dalam proses legitimasi mereka mengejar legitimasi untuk diri sendiri atau untuk lembaga lain. Menurut Morris Zelditch, Jr., Guru besar Emeritus Sosiologi di Stanford, teori legitimasi, dimulai dengan Thucydides' Sejarah Perang Peloponnesia. Peperangan ini diakibatkan adanya opini legitimasi diantara kedua belah pihak.
Dalam politik modern sangat variatif adanya fenomena krisis legitimasi terhadap pemerintah atau pemimpin disuatu negara. Beberapa kudeta dalam fenomena juntah militer di belahan negara Amerika Latin seperti Argentina dengan tertembaknya jenderal Juan Peron yang kemudian diganti istrinya Isabel Peron walau harus merenggut nyawa kelompok civil society selama 4 tahun kurang lebih 30 ribu warga Boanes Aires di bunuh dan diculik oleh kelompok bersenjata yang dikenal dengan nama Decaparidos. Agusto Finochet di Chili, Eva Morales di Blovia, termasuk di Srilanka dengan kondisi tragis, istana di duduki para demonstran.
Dasar krisis legitimasi itu sangat ditandai adanya berbagai fenomena politik seperti ; (1) hutang luar negeri yang menumpuk sehingga terjadi interdependensi ekonomi dan politik. Negara kehilangan kedaulatan, seperti kedaulatan dalam proses kebijakan politik. (2) kemiskinan dan kelaparan, yang diakibatkan oleh perilaku penguasa yang mendominasi sumber-sumber kekayaan negara, untuk diri, keluarga dan kolega. (3) penegakan hukum yang diabaikan, sehingga muncullah perilaku despotisme dalam kekuasaan. (4) terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai sistem tata kelola pemerintahan. (5) terbunuhnya sistem hukum karena hasrat kekuasaan yang mendominasi. (6) terjadinya pemilu curang dalam negara, dengan cara abusa of power (penyelewengan kekuasaan).
Dalam sistem demokrasi dan politik modern---variabel ini adalah alasan terkuat terjadinya krisis legitimasi terhadap kekuasaan. Praktek abuse of power kadang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi, bahkan dalam sistem proses politik pun disalahgunakan dengan cara melakukan hal-hal yang mengganggu kejujuran dalam pemilu. Sehingga memunculkan berbagai aksi dan reaksi dari publik atau kelompok civil society sebagai penanda terjadi distrust (ketidakpercayaan) publik kepada penguasa.
Membreak-down politik kontemporer ini didalam kondisi politik Indonesia kadang ditemukan relevansinya. Seperti dari Pemilu ke pemilu selalu saja muncul ketidakjujuran dan kecurangan, sehingga selalu saja bermuara kepada sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi. Mungkin kita bisa bersepakat bahwa hukum adalah panglima dalam sistem tata kenegaraan, sebagai panglima tentu hukum diharapkan dapat menjadi instrumen penetrasi dalam berbagai kejahatan yang ada termasuk kejahatan politik.
Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur (hukum terhadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati), tetapi fenomena ini seringkali dijumpai ketika dominasi kekuasaan atas hukum yang berlebihan. Setidaknya negara itu harus berbasis hukum bukan kekuasaan, sebab kalau ia berbasis kekuasaan maka hukum menjadi nomor kesekian dan keadilan sulit untuk ditemukan karena dominasi kekuasaan tadi. Sebagian pakar mengatakan legitimasi itu tergantung pada penguatan hukum terhadap kekuasaan, tetapi secara sosiologis reaski dan aksi protes dari publik adalah bagian dari krisis legitimasi kepada kekuasaan.
Pada fase kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini pemerintahan Jokowi semakin kesini semakin mempraktekkan despotisme---yang mengarah pada korupsi, kolusi dan nepotisme yang ditandai munculnya politik dinasti. Bagi Max Weber (sosiolog Jerman) yang menyebutnya sebagai dinastokrasi dengan mengungkapkan beberapa bahaya dari politik dinasti ; (1) sangat sulit memutus mata rantaikorupsi, karena sirkulasi kekuasaan diputar ditengah keluarga. (2) menghambat proses demokrasi, karena selalu harus mengedepankan keluarga dan kolega. (3) akan memicu tumbuh suburnya perilaku korupsi karena adanya upaya saling menjaga dan saling menyandera satu sama lain.
Politik Indonesia pasca reformasi 98, saat-saat ini sedang berada dipersimpangan jalan, antara kembali ke era orde baru atau melanjutkan era reformasi. Realitas politik yang kemudian sebagai penanda kemana arah penegakan hukum?, sementara beberapa pakar hukum tidak pernah tersinggung dengan pelanggaran hukum yang ada. Meminjam istilah dari Parmoedya Ananta Tour “Jika ahli hukum tidak tersinggung dengan pelanggaran hukum yang ada, maka lebih baik jadi penyapu jalanan”
Karena itu, legitimasi dari sebuah proses politik misalny yang penuh dengan kecurangan akan berdampak pada terjadinya krisi legitimasi. Dan Jokowi didetik-detik terakhir masa jabatannya sedang mengalami “krisis legitimasi” karena perilaku politiknya yang cendrung salah arah. Kebijakan kenaikan sembako, berbagai import, kenaikan TDL, BBM, kenaikan pajak, bangkrutnya beberapa BUMN, kasus agraria diberbagai tempat termasuk di kawasan IKN dan PSN PIK 2 dengan 34 desa dan 7 kecamatan adalah contoh yang terkuak, dan belumlagi ditempat-tempat yang lain.
Jadi pada prinsipnya krisis legitimasi itu bukan soal hukum itu sah atau tidak sah, tetapi sentimen publik juga menjadi penanda penting karena publik adalah kelompok yang merasakan dari hasil kebijakan pemerintah. “Bila penguasa berbohong kepada rakyatnya itu politik, dan apabila rakyat yang berbohong kepada penguasa itu kejahatan”---(Bill Murray).
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan cacat-an Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.