Darmaningtyas Sebut Dihapusnya Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa Kebijakan Ngawur: Populis tapi Tidak Cerdas! -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Darmaningtyas Sebut Dihapusnya Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa Kebijakan Ngawur: Populis tapi Tidak Cerdas!

Selasa, 23 Juli 2024 | Juli 23, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-23T11:30:03Z

Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengkritik kebijakan dihapusnya jurusan IPA, IPS, dan bahasa di level jenjang SMA.

Menurutnya, kebijakan tersebut akan berpengaruh pada kualitas siswa saat masuk PTN sesuai jurusan dan mata pelajaran yang berkaitan dengan pilihannya.

Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa Ki Darmaningtyas menyebut kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) yang menghapus penjurusan di SMA merupakan kebijakan ngawur.

"Sama ngawurnya materi tes masuk PTN tidak mendasarkan pada mapel yang berkaitan dengan jurusan yang akan dimasuki," ungkap Darmaningtyas ketika dihubungi, Sabtu, 20 Juli 2024.

Ia mencontohkan, untuk bisa masuk jurusan Farmasi seharusnya mata pelajaran Kimia harus baik, begitu pula dengan mapel fisika dan matematika pada jurusan Teknik.

"Tapi kalau tidak ada tes terkait dengan materi yang relevan, bagaimana PTN dapat menjaring calon-calon mahasiswa yang punya kemampuan sesuai dengan bidangnya?"

“Maka dari itu, kebijakan penghapusan jurusan IPA-IPS-Bahasa dan juga seleksi masuk PTN yang tidak memasukkan materi yang relevan dengan fakultas yang akan dimasuki adalah kebijakan yang populis, tapi tidak cerdas karena tidak melihat sosio kultural dan politis di Indonesia," jelasnya.

Penulis buku 'Melawan Liberalisme Pendidikan' ini membongkar berbagai permasalahan akibat penghapusan jurusan di SMA yang tidak membawa perbedaan dari Kurikulum 13 dengan mapel peminatannya.

Di mana, siswa dengan peminatan kuliah di Fakultas Kedokteran bisa mengambil mapel Biologi dan Kimia lebih banyak.

Begitu pula dengan yang akan mengambil jurusan teknik bisa mengambil mata pelajaran matematika dan fisika lebih banyak.

"Kebijakan peminatan ini tidak bisa jalan karena insfrastrukturnya tidak mendukung (ruang kelas, guru, laboratorium, dan birokrasinya). Juga Masyarakat (orang tua murid dan murid belum siap)," tandasnya.

"Salah satu masalah yang muncul dari sistem peminatan dulu (K13) adalah ada mata pelajaran yang menjadi pilihan favorit murid sehingga gurunya kelebihan jam mengajar bahan sampai tidak cukup gurunya," tambahnya.

Sebaliknya, ada pula mata pelajaran yang sepi peminat, padahal gurunya tersedia cukup.

Menurutnya, hal ini menjadi permasalahan besar karena menyangkut kesejahteraan guru.

"Ini bukan masalah sepele, terlebih terjadi di hampir semua sekolah, karena ini terkait dengan kesejahteraan guru," tegasnya.

Nantinya, guru yang minim mengajar akan sulit memperoleh tunjangan profesi karena kewajiban mengajar 24 jam seminggu tidak terpenuhi.

Maka dari itu, pada akhirnya kebijakan ini akan membuat sekolah lebih repot.

"Sebagai contoh, ada sekolah yang membagi dengan paket-paket. Paket pelajaran yang kira-kira memang anak-anaknya akan kuliah di jurusan IPA, ada paket untuk menyiapkan mereka yang akan kuliah ke jurusan sosial humaniora. Akhirnya ya bohong-bohongan saja karena hanya ganti istilah, dari jurusan menjadi paket."

Selain itu, sekolah juga akan kesulitan untuk menyiapkan tenaga pengajarnya apabila setiap tahun yang kecenderungan memilih paket pembelajaran berubah-ubah.

"Berbeda misalnya dengan adanya penjurusan, dapat diprediksi secara pasti kebutuhan gurunya, tergantung banyaknya kelas per jurusan yang akan dikembangkan," tutur aktivis asal Yogyakarta tersebut.

Dalam jangka panjangnya, lanjutnya, Indonesia semakin tertinggal dalam bidang ilmu dan teknologi.

"Mengapa? Karena ilmu pasti (Biologi, Fisika, Kimia, dan Matematika) adalah dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi dengan dihapuskannya jurusan IPA IPS makin sedikit murid-murid SMA yang mengikuti pembelajaran materi tersebut. Mereka akan memilih paket-paket yang mudah saja."

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kurikulum ini memang telah diterapkan di negara-negara maju.

Kendati demikian, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut dalam menerapkan kurikulum ini.

Hal ini karena, menurutnya, tingkat literasi dan numerasi di Indonesia masih rendah. Sedangkan negara-negara maju memiliki literasi dan numerasi yang panjang dan sudah terbukti terdepan.

Sumber: disway
Foto: Darmaningtyas kritik kebijakan penghapusan jurusan IPA, IPS, Bahasa--Instagram
×
Berita Terbaru Update
close