Pembentukan family office oleh pemerintah Jokowi dianggap ekonom memiliki potensi besar menjadi sarang pencucian uang. Ide ini awal muncul dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan karena melihat banyak negara maju sudah menjalankan program ini.
Ekonom dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengungkapkan kekhawatiran bahwa program ini bisa jadi tempat pencucian uang seperti yang terjadi di Singapura.
"Di Singapura yang hukumnya bagus saja sekarang menahan diri menciptakan (family office) karena mereka tidak mau lagi diperlakukan atau di-image-kan sebagai negara tempat pencuci uang," ujar Faisal dikutip Senin (8/7/2024).
Untuk diketahui, salah satu negara yang memiliki family office ialah Singapura. Di sana, ada 6 family office tersangkut kasus pencucian uang senilai US$3 miliar atau setara Rp36,23 triliun.
Pemerintah Singapura kemudian menangkap dan memproses hukum 10 orang asing yang terlibat dalam kasus pencucian uang terbesar di negara tersebut.
Faisal menilai praktik pencucian uang yang kerap terjadi di family office bisa saja berasal dari kejahatan judi online atau narkoba. Para pelaku biasanya mencatut nama orang lain lalu menaruh dananya ke suatu negara.
Maka dari itu, Faisal pun mempertanyakan kesanggupan pemerintah, apakah benar-benar sudah siap membentuk family office dengan segala konsekuensinya.
"Jangan-jangan ada judi online, narkoba, pelaku-pelakunya di luar pakai nama orang bikin family office. Bisa saja seperti itu. Pertanyaannya siap tidak?".
Senada dengan Faisal, Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga berpendapat kalau dengan adanya family office, Indonesia juga berisiko jadi tempat pengemplang pajak berkumpul.
Ini karena para pencari suaka pajak berusaha menghindari pajak di negara asalnya dengan menaruh uangnya di negara-negara yang memiliki program pembebasan pajak atau pajak rendah.
"Pembebasan ataupun pemberian skema pajak tertentu diberikan pada konsep family office. Skema ini digunakan pemilik modal untuk merancang skema tertentu, ini yang perlu diantisipasi negara berkembang," terang Yusuf.
Menurutnya, negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan penerimaan pajak yang bersumber dari berbagai sektor usaha. Sehingga, program-program yang memberi insentif pajak seperti family office, harus memperhatikan faktor kompensasi yang didapat di masa depan serta berdasarkan asas keadilan.
Maka dari itu, Yusuf meminta pemerintah jangan hanya menawarkan adanya pajak rendah agar investor mau masuk, tapi juga memperhatikan aspek pajak yang berkeadilan dalam mendesain skema family office di Indonesia.
Sumber: suara
Foto: Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama para Menko di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024). (bidik layar video)