Pilihan Megawati Soekarnoputri menolak mencalonkan Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub Jakarta dilatari 'hitung-hitungan politik' dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kata pengamat. Pramono Anung dipilih sebagai 'jalan tengah' demi kepentingan politik jangka panjang partai berlogo kepala banteng itu.
Sehingga, bukan kemenangan yang dicari PDIP di Pilkada Jakarta, tapi investasi politik jangka panjang.
Agar bisa tetap berkomunikasi dengan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, tambah pengamat.
Di sisi lain, Sekretaris Tim Pemenangan Pilkada PDIP, Aria Bima mengaku “kaget” atas pencalonan Pramono Anung-Rano Karno, tapi pilihan ini sudah melalui “kontemplasi” oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Anies masih punya peluang meskipun “kecil” untuk memperoleh tiket di Pilkada Jakarta. Partai Buruh menghibur dengan mengatakan masih konsisten mengusung Anies, meskipun harus bergerilya mencari sekutu agar memenuhi ambang batas pencalonan.
Musik karnaval dilengkapi tanjidor bergerak mengiringi oplet tua “Si Doel” menuju kantor KPUD Jakarta, Rabu (28/08). Di dalamnya ada Pramono Anung dan Rano “Si Doel” Karno setelan betawi.
"Saya Pramono Anung Wibowo dengan Rano Doel Karno mendaftarkan diri menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dari PDI Perjuangan," kata Pramono usai menyerahkan dokumen pendaftaran di kantor KPUD Jakarta.
Dalam orasi, keduanya mengaku terkejut dengan keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri.
“Saya dan Bang Doel terus terang, terutama saya pribadi, termasuk Bang Doel, sama sekali, lima hari yang lalu pun membayangkan menjadi calon itu juga tidak,” kata Pramono.
Rano Karno ikut menimpali. “Tadi malam saya baru diperintahkan oleh ibu ketua umum, untuk membantu membenahi Jakarta… ‘Saya perintahkan kamu, dan ini hak prerogatif ketua umum, tidak ada diskusi, dampingi Pak gubernur Pramono Anung’,” kata Rano Karno menirukan percakapan dengan Megawati.
Saat mendaftarkan diri, pasangan ini juga didampingi oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, politikus PDIP yang menjabat menteri sosial Tri Rismaharini dan Sekretaris Tim Pemenangan Pilkada PDIP, Aria Bima.
“Saya juga kaget,” kata Aria Bima saat ditemui BBC Indonesia usai pendaftaran calon.
“Banyak kader-kader yang cukup terkaget... Karena opsional pertama yang muncul di dalam internal, termasuk Anies dan Mas Rano, kemudian Ahok dan Mas Rano, (tapi) munculnya Mas Pram,” tambahnya.
Namun, kata dia, para kader PDIP percaya dengan “kontemplasi dan perasaan” Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memilih Pramono-Rano untuk menjawab persoalan “kebutuhan rakyat Jakarta.”
“Kami percaya kontemplasi dan feeling-nya Ibu Mega akan tepat lebih pada kebutuhan rakyat Jakarta saat ini itu apa? Permasalahan rakyat Jakarta itu apa? Dan sosok yang mampu menyesuaikan kepemimpinan rakyat Jakarta ini apa?
Di situlah setelah melihat informasi dan masalah Jakarta sangat tepat kalau Mas Pramono dan Mas Rano ini menjadi sosok yang diajukan PDI Perjuangan,” kata Bima.
‘Tidak logis’
Beberapa pengamat politik menilai PDIP sudah “siap kalah” di Pilkada Jakarta dengan mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai jagoan.
Pesaing utama mereka adalah Ridwan Kamil-Suswono atau pasangan RIDO yang didukung koalisi gemuk gabungan 15 parpol yaitu PKS, Golkar, PKB, PAN, NasDem, Demokrat, PPP, PSI, Gelora, Perindo, Partai Garuda, PKN, Prima, dan PBB.
Analis komunikasi politik dari Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menilai, kans kemenangan RIDO lebih besar dibandingkan pasangan Pramono-Rano.
Salah satunya karena pasangan RIDO ikut didukung PKS yang menjadi parpol nomor satu dalam perolehan suara termasuk kursi parlemen di Jakarta pada pemilu legislatif 2024. PKS memperoleh 1 juta suara, dan 18 kursi di parlemen.
“Karena kekuatannya RK (Ridwan Kamil) sebetulnya ada di Suswono-nya, ada di PKSnya,” kata Hendri.
Di sisi lain, PDIP akan tetap setia pada “DNA-nya”: mengutamakan kadernya maju sebagai bakal cagub Jakarta. Urusan menang-kalah, belakangan, kata Hendri.
“Mereka memang biasanya siap kalah. Jadi yang penting kader saja yang maju,” katanya.
Di sisi lain, kata Hendri, ada juga kemungkinan hitung-hitungan politik Megawati Soekarnoputri untuk “menurunkan tensi” di tengah ketegangan internal partai dalam menentukan pilihan bakal cagub Jakarta antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Kedua orang ini adalah rival Pilkada Jakarta 2017 silam. Oleh karena itu, memunculkan nama Pramono adalah jalan tengah.
Tapi motif lainnya, “Mungkin juga ada deal-deal-an (kesepakatan tertentu) sama pemerintah. Tapi itu desas-desus,” tambah Hendri.
Memasang Pramono-Rano untuk memenangkan Pilkada Jakarta adalah “tidak logis”, kata Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago.
Lawan sepadan pasangan RIDO adalah Anies dan Ahok.
“Secara logika elektoral nggak masuk akal,” kata Arifki yang melihat koalisi besar di belakang RIDO termasuk elektabilitasnya.
Dilansir dari survei Litbang Kompas pertengahan Juni lalu, Anies Baswedan berada di urutan pertama dalam elektabilitas rujukan gubernur Jakarta.
Anies dipilih 29.08% responden, diikuti politikus PDIP sekaligus mantan gubernur Jakarta Ahok 20% responden. Adapun mantan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di urutan ketiga dengan 8.5%.
“Kalau memang Pramono-Rano ini adalah memang kuda hitam untuk bisa menandingi RK-Suswono, ini nggak logis. Makanya banyak penilaian, termasuk saya, melihat bahwa untuk mengalahkan RK itu adalah dengan Anies atau dengan Ahok,” kata Arifki.
Usung Pramono-Rano, PDIP ‘berhitung politik jangka panjang’
Arifki menganalisis bahwa langkah PDIP mengusung Pramono-Rano sebagai “negosiasi jangka panjang”. Sejauh ini, PDIP ditinggalkan sendirian oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 lalu.
Belakangan KIM diperkuat dengan bergabungnya PKB, NasDem dan PKS.
“Tentu banyak variabel yang menyebabkan bahwa PDIP akan berhitung lebih baik ke depan. Karena kan permasalahan PDIP selama ini kan dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo… Bahwa mencoret Anis, maka ada negosiasi jangka panjang. Apakah masuk kabinet atau lainnya,” kata Arifki.
Kenapa tidak Ahok?
Selain itu, PDIP tidak memasang Ahok sebagai cagub Jakarta lantaran “bisa memperburuk hubungan PDIP dengan Jokowi dan Prabowo-Gibran.
“Artinya ada upaya membentuk matahari Jakarta… (memasang) Ahok adalah simbol perlawanan kepada pemerintah pusat,” kata Arifki.
“Makanya saya rasa ini pencalonan PDIP di Jakarta mengusung Pramono Rano ini sebuah formalitas dan menghargai kader, dan juga agar PDIP tidak terpecah untuk melihat komunikasi politik jangka panjang berkomunikasi dengan Prabowo-Gibran.”
Bagaimana dengan Anies?
Anies terlalu berisiko bagi PDIP. Musababnya, mantan gubernur DKI Jakarta ini bukanlah kader, dan belum tentu mau jadi bagian dari PDIP. Selain itu, Anies juga punya catatan “clash negatif” dengan Prabowo.
Memilih Anies, kata Arifki, juga akan mengganggu konstelasi politik di tahun 2029. Jika berlayar di Pilkada Jakarta dan menang, maka Anies akan menjadi lawan kuat dari Prabowo, Gibran, Puan Maharani, termasuk Ganjar Pranowo dan Ahok pada Pilpres 2029.
“Makanya mematikan kartu Anies lebih awal itu menguntungkan semua pihak. Apakah pihak di internal PDIP atau pihak di partai lain,” kata Arifki.
Di sisi lain, Sekretaris Tim Pemenangan Pilkada PDIP, Aria Bima menepis segala spekulasi soal pencalonan Pramono-Rano. Kata dia, “Tidak ada partai, apalagi ketua umum PDI Perjuangan yang merekomendasikan calon kepala daerah itu tidak untuk menang”.
Soal keyakinan bakal menang, Aria punya argumentasi. Ia menyinggung Pilkada Jakarta 2012 silam saat Jokowi melawan pesaing terberat Fauzi Bowo dan Pilkada Jawa Tengah 2013 di mana Ganjar Pranowo bersaing dengan Bibit Waluyo.
Kata Aria, contoh kedua pilkada ini lembaga survei meleset memproyeksikan pemenangnya. Pada Pilkada 2012 Jokowi keluar sebagai pemenang, begitupun Ganjar Pranowo–meski dalam survei suara mereka tidak begitu gemilang.
“Saya yakin ada keraguan wajar, tapi justru keraguan itu yang ingin kita jawab selama dua bulan ini,” katanya.
Bagaimana kans Anies di Pilkada Jakarta?
Sejauh ini, Partai Buruh “masih konsisten” mendukung Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
“Partai Buruh tetap mendukung Pak Anies, sampai titik terakhir. Tidak ada perubahan,” kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal melalui sambungan telepon.
Said mengeklaim sejauh ini sudah berkomunikasi dengan Partai Ummat, Hanura dan PKN untuk mengusung Anies.
Tapi jumlah ambang batasnya masih kurang untuk memperoleh satu tiket menuju Pilkada jakarta, ditambah lagi PKN sudah resmi mengusung pasangan RIDO.
“Kalau upaya ini sudah nggak bisa, Partai Buruh tidak dukung siapa-siapa,” lanjut Said.
Juru bicara Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian, tidak banyak menanggapi ihwal tidak jadinya mantan gubernur Jakarta itu diusung PDIP dalam perhelatan Pilkada 2024.
“Yang pasti kita menunggu sampai tanggal 29 [Agustus]. Batas akhir waktu pendaftaran. Kita menghargai prosesnya,” ujar Angga via telepon kepada Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Rabu (28/08).
Angga mengakui, Anies masih melakukan komunikasi dengan beberapa pihak—dia mengkonfirmasi berita Detik yang menyebut Anies pagi ini meninggalkan kediamannya untuk melakukan komunikasi dengan partai-partai lain.
“Beliau koordinasi dengan banyak orang tapi saya enggak tahu dengan siapa saja,” ujar Angga.
Ditanya mengenai rencana Partai Buruh untuk mengusung Anies sebagai calon gubernur Jakarta, Angga menyebut “sejauh ini belum ada komunikasi”.
Begitu pula dengan partai-partai lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sempat menyatakan dukungan ke Anies sebelum bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
“Kalau itu bisa dikonfirmasi ke PKB saja,” ujarnya.
Bagaimanapun, menurut analis politik Hendri Satrio “sudah susah” Anies memperoleh tiket melaju memperebutkan kursi Jakarta-1.
“Pilkadanya terlalu dekat dengan Pilpres, sehingga partai-partai politik itu banyak yang memikirkan tentang kekuasaan di level nasional. Jadi pada malas jauh-jauh dari kekuasaan, dari partai pemenang,” kata Hendri.
Pilihan apa yang dimiliki Anies ke depan?
Dua pilihan: berhenti dan menjadi seorang profesional atau tetap lanjut berpolitik, kata Hendri Satrio.
Sebagai personal non-parpol, Anies bisa melanjutkan karir politiknya dengan bergabung bersama partai-partai besar. Tapi, jangan harap bisa menempati posisi tinggi. “Ya harus siap berada di posisi yang biasa saja,” katanya.
Anies juga akan kesulitan melanjutkan karir politik pada partai menengah seperti PPP, PAN dan PKS. Musababnya, “Anies bisa menyaingi pamor ketua partainya,” lanjut Hendri.
Pilihan lainnya adalah: “Kalau dia mau repot-repot sedikit, ya bikin partai politik sendiri,” kata Hendri.
Sumber: bbc
Foto: Keterangan gambar,Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung bersiap memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/8/2024). Saat ini Pramono masih menjadi bagian dari Istana Negara/ANTARAFOTO