Kader PDIP yang juga anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan kinerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan saat Pidato Kepresidenan dengan penuh keberhasilan dan capaiannya di MPR/DPR RI perlu diapresiasi, terutama dalam mewujudkan program prioritas dan rencana pembangunan nasional.
Presiden Jokowi, kata dia, telah menyampaikan capaian Pemerintah selama kepemimpinannya untuk mengurangi angka kemiskinan dan stunting, pembangunan infrastruktur, capaian ekonomi dan finansial, penyelenggaraan pemilu, hingga pembangunan sistem penegakan hukum dan peradilan.
Bahkan, Jokowi menyebut pemerintahannya mampu membangun pondasi pembangunan yang Indonesiasentris. “Apresiasi tentunya dialamatkan kepada Pemerintah selama berjalannya waktu, terutama dalam mendukung kinerja Pak Jokowi dalam mencapai target pembangunan nasional baik dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak tentunya hasil capaian Pemerintah yang patut diberi penghargaan, membutuhkan keberlanjutan dalam peningkatannya, maupun catatan kritis terhadap implementasi pelaksanaan kewenangan,” ujar Wayan, Sabtu (17/8/2024).
Dalam catatan evaluatif maupun kritis berbagai kalangan, lanjut Wayan, Pemerintah telah berupaya untuk membangun kepercayaan dan kepuasan publik dengan berbagai kinerja maupun teknik pencitraan.
Alhasil, kehidupan politik dalam berbangsa dan bernegara sedikit banyak terpengaruh pada upaya maupun capaian kinerja Pemerintah.
Salah satu hal yang paling banyak disorot, kata Wayan, tentunya sistem kepemimpinan Presiden dalam menciptakan kehidupan demokratis yang adil dan beradab sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945. Dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi, fluktuasi politik dan hukum terjadi.
Perbedaan pendapat atau pandangan menghiasi media dalam menilai keberhasilan Pemerintah untuk menciptakan iklim bangsa yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). “Namun, mengapa kemudian banyak catatan miring atau kritis terhadap kinerja Pemerintah di bidang politik, khususnya terhadap momen pidato Presiden dalam Sidang Tahunan MPR 2024 ini,” jelas Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.
Menurut dia, model kepemimpinan Presiden Jokowi pada awalnya mengusung kepemimpinan yang demokratis dan transformatif.
Kata dia, Presiden Jokowi yang berasal dari kalangan sipil seperti menjanjikan kehidupan yang demokratis, yakni lebih aspiratif dan memprioritaskan penyelesaian permasalahan pokok masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik.
Kepemimpinan Presiden Jokowi pada awalnya merespon berbagai keluhan masyarakat dan mengidentifikasi permasalahan pokok, seperti yang dilakukannya pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, banyak perubahan yang dapat dilihat baik itu sebuah kemajuan dan pembangunan maupun dalam kehidupan berpolitik.
“Presiden pada awalnya kurang mendapat dukungan politik, hingga akhirnya mampu merangkul berbagai partai politik dan organisasi, serta mendapat afirmasi terhadap program-program kerjanya.
Pemerintahan yang tadinya merespon kritik publik yang banyak, menjadi pemerintahan yang kurang mendapat kritik,” jelas dia.
Namun, Wayan memiliki beberapa catatan terkait dengan ketidakpuasan juga dipengaruhi dari persepsi negatif yakni politik dinasti, kondisi ekonomi dan keuangan negara yang sulit dan semakin memburuk, serta kinerja penegakan hukum.
Lanjut Wayan, beberapa data terait kepuasan atau tingkat kepercayaan publik tentu agak sedikit berbeda dengan pidato Jokowi yang menyampaikan beberapa keberhasilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum.
“Presiden menguraikan secara singkat terhadap beberapa capaian kinerja Pemerintah seperti upaya dan strategi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (ekonomi hijau), digitalisasi, elektrifikasi, pembentukan legislasi untuk penataan regulasi, perlindungan dalam tindak pidana kekerasan seksual, dan peningkatan kualitas dan integritas lembaga peradilan dan sistem penegakan hukum,” katanya. Akan tetapi, Wayan melihat capaian yang disampaikan Jokowi pada praktiknya memang agak kontras dengan apa yang terjadi di lapangan atau grassroots.
Dukungan Pemerintah terhadap pembentukan undang-undang, seperti Omnibus Law (UU Cipta Kerja) belum memberikan hasil atau outcome yang nyata atau konkrit, misalnya dalam menyelesaikan permasalahan mafia pertanahan dan perizinan di bidang sumber daya alam. Kata dia, reformasi kultur dan struktur belum sepenuhnya terjadi di dalam penyelenggaraan Pemerintahan sesuai dengan prinsip good governance.
Menurutnya, penataan birokrasi berjalan tapi korupsi justru menjadi lebih buruk. Hal ini oleh publik terlihat dari kegagalan dalam program pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, ditandai dengan terus menurunnya indeks persepsi korupsi Indonesia.
“Program “bersih-bersih” ini belum memberikan kontribusi nyata, malah kemudian terdapat persepsi bahwa penegakan hukum dan korupsi hanya menjadi alat pemerintah dalam melanggengkan kekuasaan dan kewenangan.
Pembangunan Zona Integritas dan Zona wilayah bebas korupsi dan nepotisme, seolah hanya sebuah standarisasi di atas kertas.
Hal ini ditandai dengan banyaknya petinggi atau pejabat yang tersangkut kasus korupsi yang kebetulan terjadi di tahun-tahun politik,” ungkapnya.
Selanjutnya, kata Wayan, dalam pembangunan hukum dan HAM bahwa rapor merah yang disampaikan sebagian kalangan tentang kinerja penegakan hukum yang belum adil dan independen seolah terbukti. Pemerintah berupaya membangun sebuah sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian, dan berkemanfaatan; serta independen, profesional, dan akuntabel.
Namun begitu, kenyataannya bahwa politik anggaran APBN yang ada masih jauh dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sistem hukum yang memadai dan sesuai standar. Misalnya, hakim-hakim di daerah dan para aparat penegak hukum terus mengeluh tentang rumah dinas dan biaya operasional yang terbilang sangat tidak realistis.
“Kekurangan sarana juga terkadang mengganggu independensi serta kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjaga profesionalitas dan akuntabilitas kerja,” jelas dia.
Selain itu, Wayan menyebut independensi peradilan dan penegakan hukum dalam menciptakan keadilan juga masih memiliki persepsi negatif. Menurunnya angka kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan kelembagaan hukum, diiringi dengan berbagai gerakan masyarakat.
“Tagar “No Viral No Justice” yang sempat menghiasi media sosial dan media massa, menjadi contoh kurang sensitifnya kepemimpinan untuk secara serius menindak berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.
Responsivitas memang meningkat namun tingkat penyelesaian dan kepuasan publik terhadap keadilan tidak seimbang dengan penanganannya,” kata Legislator asal Bali ini. Catatan kritis selanjutnya terkait dengan keadilan sosial.
Presiden Jokowi memiliki program dan visi untuk membangun dan meningkatkan perekonomian bangsa yang tinggi dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman.
Presiden Jokowi berupaya untuk menyelesaikan persoalan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam.
“Namun dalam implementasinya, program-program ini belum mampu untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan (sustainable).
Ruang hijau masih minim, polusi udara memburuk, dan pengalihan hutan masih menjadi isu di masyarakat,” katanya. Ditambah lagi, sistem penegakan hukum terhadap illegal mining/drilling/logging juga belum optimal.
Pembangunan proyek strategis nasional bersinggungan dengan keadilan sosial dalam reformasi pertanahan, maka aparat sering berhadapan dengan masyarakat yang mencari keadilan ketika mereka menjadi korban dalam pembebasan lahan.
“Tata kelola agraria atau pemanfaatan lahan untuk investasi dan pembangunan kurang berpihak pada masyarakat kecil dan pembangunan lingkungan hidup atau ruang hijau,” ucapnya.
Selanjutnya, terkait penciptaan iklim demokrasi berkeadilan dan konstitusional yang selama ini menjadi amanat Pancasila dan Konstitusi. Banyak pihak masih kurang puas dengan apa yang terjadi di bidang politik.
Menurut dia, intervensi ‘Istana’ seringkali terdengar dalam berbagai pengisian jabatan publik, pembentukan undang-undang, maupun penyelenggaraan program pemerintah yang bersentuhan dengan masyarakat.
“Isu miring ini bergulir dalam kegiatan partai politik hingga pengisian jabatan strategis, adanya persinggungan atau konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penyelenggaraan sidang di Mahkamah Konstitusi, hingga penggerakan aparat penegak hukum dan TNI, serta politisasi bantuan sosial (bansos).
Tak mudah menyatakan ini dalam data, namun secara faktuil isu ini bergulir di masyarakat, sehingga masyarakatlah yang kemudian memberi penilaian,” katanya lagi.
Dalam kontestasi Pilkada yang menjadi cermin desentralisasi dan pemberian otonomi daerah, Wayan mengatakan para calon pemimpin kepala daerah seperti tersandera dengan ‘restu Presiden’ atau penggunaan pendekatan kekuasaan (machtstaat) dalam penyelenggaraan kehidupan berorganisasi dan politik.
Lebih jauh lagi, kata dia, keluarga Presiden Jokowi kini juga bertarung dalam mengisi kepemimpinan di daerah yang melebarkan jangkauan dan kelanggengan kekuasaan.
Hal ini terlihat tidak ada yang salah, namun jika dikaji secara lebih mendalam, persoalan etika dan konflik kepentingan menjadi isu.
“Tidak terelakkan ada sebagian pihak yang menilai bahwa ini adalah sebuah upaya politik dinasti, hal yang paling dihindari di era reformasi pasca orde baru. Pada akhirnya, persoalan ini akan berpengaruh pada public trust dan profesionalisme kerja,” jelas Wayan.
Terakhir, Wayan mengatakan masyarakat sebenarnya menunggu pidato Presiden Jokowi yang menjelaskan seluruh keraguan masyarakat terhadap Pemerintah, yang dinilai telah membangun pengaruh yang terlalu besar dan mengarah pada politik dinasti.
Masyarakat menunggu momen pidato Presiden Jokowi tersebut, untuk melihat keadaan sebenarnya dari berbagai hal yang terjadi.
“Presiden Jokowi menggunakan momen pidato terakhirnya untuk memotret hasil kinerja dan peninggalan (legacy) dalam agenda ke depannya sebagai seorang negarawan. Tapi pidato tersebut justru terlihat seperti formalitas dan/atau singkat-singkat saja,” kata dia.
Justru, lanjut Wayan, Presiden Jokowi terlihat seperti ‘main aman’ dan tidak mampu berkata-kata tentang capaian rencana hebatnya selama ini dalam upaya membangun dan memajukan bangsa, seperti kehidupan demokratis dan penghargaan terhadap HAM dan ruang publik, ketahanan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan, perlindungan terhadap hak warga negara, maupun sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan.
Masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan sosial sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945.
Oleh sebab itu, Pemerintah harus berkomitmen untuk menjamin kehidupan demokrasi dan hukum yang adil dan independen, sehingga dapat melahirkan kepemimpinan yang bekerja untuk rakyat bukan untuk kekuasaan semata.
“Namun, itu belum tercermin dalam pidato Pak Jokowi yang akan menyerahkan tongkat estafet pada presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.
Agenda berkelanjutan yang diungkapkan terlihat seperti gestur politik untuk meneruskan kekuasaan dalam mengatur kehidupan politik dan demokrasi,” katanya lagi.
Maka dari itu, Wayan mengatakan penting mencatat pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani bahwa ‘satu untuk semua, dan semua untuk satu’ dan kebersamaan dalam kebersandingan untuk membangun bangsa dan negara sesuai prinsip gotong royong dan kekeluargaan. “Perbedaan pandangan politik maupun pendapat bukan menjadi penghalang untuk membangun bangsa dan negara secara bersama-sama.
Persatuan dan kesatuan yang dialamatkan oleh Presiden dalam pidatonya memang diperlukan, namun harus sesuai dengan visi dan tujuan bangsa, yang dilakukan berdasarkan filosofi Pancasila, UUD NRI 1945, dan penerapan prinsip demokrasi dan negara hukum secara seimbang,” pungkasnya
Sumber: tvonenews
Foto: Akhir Kepemimpinan Jokowi, PDIP Beri Catatan Kritis: No Viral, No Justice! Sumber : istimewa