Dissenting Opinion Hakim Guntur Hamzah: Saya Tak Ragu Tolak Putusan Syarat Pengusungan Pilkada -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dissenting Opinion Hakim Guntur Hamzah: Saya Tak Ragu Tolak Putusan Syarat Pengusungan Pilkada

Rabu, 21 Agustus 2024 | Agustus 21, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-08-21T04:28:47Z

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pengusungan di Pilkada.

Syarat pengusungan berkenaan ambang batas minimal dan perizinan bagi partai non seat DPRD tersebut dinyatakan MK melalu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Dalam Putusan a quo, hakim konstitusi M Guntur Hamzah berposisi dissenting opinion alias berpendapat berbeda daripada tujuh hakim yang mengabulkan perkara ini.

"Sekali lagi, tidak ada keraguan bagi saya untuk menolak permohonan para Pemohon dalam perkara a quo," ucap Guntur, dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Guntur menyoroti pentingnya untuk mencermati kembali kata “demokratis” dalam pasal a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Ia mengatakan, melalui pemahaman terhadap kata “demokratis”, maka sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk menggunakan satu model tertentu dalam pemilihan kepala daerah, karena yang terpenting kepala daerah yang terpilih adalah representasi suara rakyat di daerah. 

"Apapun modelnya, baik melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, maupun melalui cara lain yang diatur dalam undang-undang merupakan model yang demokratis," kata Guntur.

Model demokrasi a quo yang diterapkan di Indonesia dewasa ini, oleh banyak ahli menyebutnya sebagai demokrasi asimetris (asymmetric democracy), bahkan lebih spesifik lagi disebut juga sebagai Pilkada Asimetris. 

Terkait dasar pemikiran tersebut, Guntur kemudian mengatakan, dalam konteks Pilkada, selain menerapkan demokrasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat di masing-masing daerah, juga diberlakukan model tanpa pemilihan seperti yang berlaku di Provinsi Yogyakarta, dimana Sri Sultan Hamengkubuwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat secara otomatis menjadi Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan Paku Alam secara otomatis menjadi Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Demikian juga pada jabatan walikota dalam lingkup DKI Jakarta. Menurutnya, para walikota dimaksud tidak dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan ditentukan melalui pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta.

Sedangkan, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sendiri dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah.

Sementara itu, di Provinsi Aceh lain lagi, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat Aceh, namun partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah mengakomodir juga calon yang diajukan oleh partai politik lokal di Aceh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah di Aceh.

Lebih lanjut, Guntur menuturkan, ia memandang perbedaan mekanisme demikian bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan menjadi domain pembentuk undang-undang untuk menentukan pilihan kebijakan yang terbaik dan adil dalam mendukung terwujudnya prinsip pemilu yang bersifat demokratis serta mengatur persyaratan dan mekanisme apa yang hendak dipilih dalam pencalonan kepala daerah.

Ia megyatakan, sejatinya dengan adanya norma a quo akan menambah daya lentur pemaknaan dari kata 'demokratis' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 

"Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa aturan pada kalimat 'ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah' adalah salah satu rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam memaknai kata 'demokratis' sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 UUD ayat (4) 1945 ke," ucapnya.

"Dalam tataran implementasi yang lebih luas. Terlebih, kata 'demokratis' merupakan prinsip pemilihan umum dalam masyarakat yang beradab, namun dalam impelementasinya terbuka kemungkinan perbedaan model dan mekanisme baik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden maupun dalam pencalonan kelapa daerah yang kedua-duanya memiliki bobot demokratis yang sama," tambahnya.

Sementara itu, concurring opinion alias alasan berbeda diajukan oleh hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.

Ia menjelaskan, Pasal 40 UU 10/2016 jelas menutup peluang bagi partai politik peserta pemilu yang tidak mendapatkan kursi di DPRD untuk mengusulkan calon kepala daerah, sebagaimana dialami para Pemohon (Partai Buruh dan Partai Gelora) di beberapa daerah pemilihan (Dapil) yang mendapat dukungan suara dari rakyat/pemilih tetapi tidak mencapai syarat untuk mendapat kursi di DPRD, sehingga tidak bisa mengajukan usulan calon kepala daerah. 

Hal ini menunjukkan bahwa norma Undang-Undang a quo menafikan dukungan rakyat - terhadap partai politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Selain itu, katanya, pembatasan untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah dengan syarat minimal perolehan kursi 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD sebagaimana Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016, memiliki makna bahwa semua partai politik peserta pemilu, baik yang mendapat kursi di DPRD maupun tidak, sepanjang memperoleh dukungan suara dari rakyat seharusnya diperbolehkan mengajukan pasangan calon kepala daerah.

Dengan tidak dibolehkannya partai politik peserta pemilu yang sekalipun memperoleh dukungan suara namun tidak mendapat kursi di DPRD untuk mengajukan pasangan calon, tidak saja sebagai bentuk pengingkaran kedaulatan rakyat yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dalam Pasal 28D ayat (1) sekaligus bentuk diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 

"Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 saya berpendapat bahwa norma a quo, tetap konstitusional namun diberlakukan secara bersyarat bagi gabungan partai politik peserta Pemilu tahun 2024 yang mendapat dukungan rakyat tetapi tidak mendapat kursi di DPRD diperbolehkan mengusulkan pasangan calon kepala daerah dengan menggunakan parameter perolehan minimal 25 persen akumulasi suara sah," ucap Daniel.

"Oleh karenanya, kepada pembentuk undang-undang agar segera melakukan perubahan terhadap keseluruhan norma Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 harus dinyatakan inkonstitusional dalam pemilihan kepala daerah serentak selanjutnya," imbuhnya.

Sebelumnya, sebagaimana diketahui, MK mengabulkan bagian pokok permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait norma UU Pilkada yang mengatur ambang batas pengusungan calon di Pilkada.

"Dalam pokok permohonan: Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Suhartoyo menyatakan, Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

"Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftatkan pasangan calon jika telah memenuhi syarat sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2. 000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut.

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemih tetap lebih dari 6.000.000(enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut

d. provinsi dengan jumah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedkt 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihn tetap sampai dengan 250.00 (dua ratus ima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus ima puluh ribu) sampai dengan 500.00 (ima ratus ribu) jiwa, partai politij atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihan tetap lebih dari 500.000 (ima ratus ribu) sampai dengan 1.000.00 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.0000 (satu juta) jiwa, parai politik atau gabungan partai poitik peseria pemiu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam selengah persen) di kabupaten/kota tersebut;".

Sebelumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat aturan terkait batasan partai politik tanpa kursi di DPRD dalam pengusungan pasangan calon (paslon) di Pilkada.

Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 40 Ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Pasal tersebut berbunyi, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

Ketua tim hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahuddin, mengaku pihaknya dirugikan secara konstitusional atas keberlakuan pasal a quo.

Lebih lanjut, ia menilai, persyaratan pendaftaran pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol lebih berat daripada persyaratan pendaftaran pasangan calon dari jalur perseorangan.

"Paslon yang diusulkan parpol, berbasis pada perolehan suara sah. Sedangkan, paslon perseorangan berbasis pada dukungan KTP pemilih," ungkapnya.

Dalam petitumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora meminta MK, menyatakan Pasal 40 Ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota Dewan Perwakailan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas".

Sumber: tribunnews
Foto: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pengusungan di Pilkada/Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
×
Berita Terbaru Update
close