Hanya ada dua pilihan kepada Airlangga. Ambil kesempatan untuk terlibat kawal proses transisi dari Jokowi ke Prabowo atau dipenjarakan.
Apa yang menimpa Airlangga Hartato, bukanlah pengunduran diri dari kursi panas ketum Golkar. Melainkan kudeta halus yang bersumber dari tekanan eksternal.
Tekanan eksternal yang dimaksud bersumber dari dorongan arus politik Istana yang saat ini jadi mesin penggerak utama suksesi transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo.
Teknananya powerfull. Airlangga tak kuasa menolak. Skenarionya sama seperti badai ancaman yang dilayangkan Istana saat menekan Airlangga berhenti mencalonkan diri sebagai Capres atau Cawapres dan menyerahkan Golkar sebagai partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 lalu.
Kekuatan cawe-cawe Jokowi menggunakan politik premanisme. Jebak, sandera lalu hantam Airlangga dengan sejumlah kasus dugaan korupsi.
Di pilpres lalu, Airlangga ditekan gunakan dugaan korupsi izin ekspor Crude Palm Oil. Airlangga diseret ke meja Kejaksaan Agung, dicecar 46 pertanyaan selama 12 jam. Keluarnya Airlangga loyo, menunduk pasrah ikuti arahan Jokowi.
Kini Airlangga dipukul lewat dugaan kolusi bersama importir terkait pelepasan 26.415 kontainer barang yang tertahan di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Airlangga dilaporkan ke Bareskrim pada Jum'at 9 Agustus. Sehari berikutnya, 10 Agustus Airlangga meneken surat pengunduran diri. Di hari yang sama, Airlangga juga mengahadap Jokowi ke Istana sambil memegang map. Agenda pertemuan dadakan karena tidak terjadwal sebelumnya. Hari berikutnya, Minggu 11 Agustus, Airlangga umumkan pengunduran dirinya ke publik.
Dulu, menjelang pilpres, Airlangga dipukul Jokowi agar berhenti calonkan diri sebagai capres atau cawapres dan bersedia serahkan Golkar. Jokowi tekan Airlangga serahkan Golkar ke dalam koalisi pendukung pasangan calon yang ditukanginya: Prabowo-Gibran.
Lebih detail lagi untuk suksesi kelanjutan dinasti politik keluarga yang diteruskan anaknya Gibran yang dipasangkan sebagai wakil Prabowo.
Akhirnya, mimpi Jokowi jadi nyata. Prabowo-Gibran menang.
Kini, Airlangga dikudeta dengan tujuan yang lebih strategis lagi. Golkar harus berada di bawah kendali full Jokowi untuk memastikan dirinya punya kekuatan dalam menjaga eksistensi dinasti politiknya setelah transisi kekuasaan ke tangan Prabowo.
Tidak ada pilihan lain. Harus ada partai besar yang digunakan Jokowi sebagai alat politik untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan dinasti politiknya ke depan.
Posisi Gibran sebagai wakil presiden saja tidak cukup untuk menjaga kelanjutan dinasti politik Jokowi. Ke depannya sangat berpotensi dimandulkan Prabowo seperti kasus Ma'ruf Amin yang disimpan Jokowi layaknya "baby doll" selama hampir 5 tahun.
Saat ini, Prabowo masih menurut apa kata Jokowi. Prabowo berhutang kasa besar kepada Jokowi yang sukses membuat mimpi Prabowo jadi nyata setelah 4 kali gagal capres.
Ke depannya, saat Prabowo dilantik, seluruh kendali kekuasaan berada di tangannya. Jokowi bukan lagi siapa-siapa. Jika keretakan hubungan keduanya menguat-memuncak, Prabowo tidak akan segan memukul Jokowi.
Lalu siapa yang akan melindungi Jokowi? Mengendalikan salah satu partai besar adalah pilihan terbaik. Meskipun pilihan itu juga tidak absolut kuat. Karena arus politik transaksional antara DPR dan eksekutif yang kuat di Indonesia, ketentuan presidential threshold serta pembentukan koalisi yang berlebihan di parlemen, memberi peluang berlebih kepada presiden mengikat dan memukul ketua partai.
Sulit bagi ketua partai menandingi cawe-cawe presiden. Hal ini sudah dibuktikan Jokowi ketika memukul banyak ketua partai selama menjabat.
Di satu sisi Airlangga pasti tidak mau ambil risiko besar. Lebih baik bagi Airlangga menuruti desakan Jokowi dan menjadi bagian penting yang dilibatkan dalam proses transisi kepemerintahan Prabowo.
Dari pada didiskreditkan, dipidanakan, dikirminalkan, masuk penjara. Jauh lebih baik bagi Airlangga menerima kompensasi yang sudah disiapkan Jokowi dan Prabowo. Boleh jadi, lanjut sebagai menteri lagi.
Lihat saja perilaku Airlangga, setelah mengundurkan diri, Airlangga cabut ke IKN, nikmati "candle light dinner" bareng Jokowi. Kemudian ikuti rapat kabinet pertama di gedung Istana "Kelelawar" Nusantara (IKN) dengan agenda utama: mempersiapkan transisi ke pemerintahan Prabowo.
Asik. Seperti dikatakan Bahlil saat menyahut candaan Airlangga dan Sri Mulyani dalam sesi foto bersama setelah rapat di IKN: "Masuk Barang Itu, saya punya kursi spesial"
Inilah perilaku politik elit Indonesia. Lucu dan menggemaskan!
Saya sepakat dengan kalimat Pak JK, dalam kasus ini, tidak ada kecamuk konflik internal di balik pengunduran diri Airlangga.
Bagi saya, desakan internal Golkar terhadap Airlangga jelang Pilpres 2024 lalu, udah melunak bersamaan pencapaian Airlangga yang berhasil membawa Golkar meraih 102 kursi DPR RI di Pemilu 2024, meningkat signifikan dari pada Pemilu 2019 yang hanya 85 kursi.
Mundurnya Airlangga adalah peristiwa kudeta halus yang didalangi aktor eksternal, yakni Presiden Jokowi.
Lalu siapa yang akan dipasang sebagai pengganti Airlangga pimpin Golkar pada Munas di Akhir Agustus mendatang?
Entahlah, pastinya proses harus diselesaikan sampai akhir. Pimpinan baru harus manusia dibawah kendali Jokowi. Bisa jadi Bahlil, Gibran dan calon kuat lainnya. Atau boleh jadi Jokowi sendiri yang jadi ketuanya, atau jadi ketua dewan pembinanya. Entahlah. Waktu akan menjawab. (*)
Oleh: Faisal S Sallatalohy
Mahasiswa S3 Hukum Trisakti
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.