Dalam perkembangan politik modern diberbagai negara gerakan pembangkangan civil society (Civil Disobedience) sudah menjadi bagian dari kontrol politik. Dalam paham demokrasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Samuel P Huntington, bahwa ada empat pilarkontrol penyanggah suatu negara demokrasi ; (1) Parlementary, adalah lembaga legislatif sebagai wadah perwakilan politik rakyat yang berwenang memperjuangkan hak-hak kedaulatan politik rakyat, yang bukan hanay bertugas menjalankan tiga fungsi seperti legislasi, budgeting dan pengawasan. Sebagai lembaga perwakilan politik rakyat, maka parlemen (DPR) diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat (publik) terhadap situasi yang berkembang.
(2) Non Government Organization (NGO) atau lebih dikenal dengan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sebagi piranti untuk menjembatani kepentingan-kepentingan publik kepada pemerintah atau kepada kekuasaan. NGO atau LSM ini sebagai lembaga atau organisasi yang lahir secara independen dari inisiasi kelompok-kelompok masyarakat. Dengan tugas utamanya adalah memberikan pendampingan kepada masyarakat lewat agenda-agenda pemberdayaan kepada masyarakat.
Dan (3) Media, pers dan jurnalis adalah alat kontrol yang berbasis informasi. Tugas media adalah menyampaikan pesan negara atau penguasa kepada rakyatnya demikian pula sebaliknya pesan rakyat kepada penguasanya. Media dan jurnalis adalah kekuatan utama dalam kontrol demokrasi dihampir semua negara di dunia. Kita bisa menyaksikan di era digital ini informasi begitu massif dan media tampil memberitakannya. Informasi yang diterima publik adalah serangkaian pengetahuan tentang kondisi yang ada. Walau akhir-akhir ini banyak kalangan media mengalami diskriminasi dan intimidasi ketika ia mencoba memberitakan perilaku korupsi, kejahatan HAM, praktek bagi-bagi gratifkasi dan jabatan.
Fenomena ini kemudian membuat surutnya kontrol politik atas demokrasi---sebab ada tangan kekuasaan bekerja untuk mematikan posisi media dan jurnalis dengan cara memberi posisi dan jabatan. Independensi media memang mengalami banyak gangguan secara psikologis ketiak kekuasaan mengalami gangguan secara mental dan psikologis.
(4) Civil Society, kelompok ini seringkali diasosiasikan sebagai kelompok kritis---seperti akademisi, mahasiswa, buruh dan kelompok lainnya yang prodemokrasi. Di beberapa negara kelompok ini mengambil peran yang signifikan dalam perubahan suhu politik yang politik berkembang. Bukan hanya menyoroti isu-isu nasional yang berkembang di negara---tetapi juga mereka lebih aktif menyikapi dan menyoroti berbagai fenomena politik global yang bukan hanya pada isu politik tetapi juga pada isu-isu seperti emisi carbon, lingkungan, War and human rights violations, Human trafficking, penyelundupan narkoba dan kekerasan-kekerasan di belahan dunia lainnya.
Berangkat dari keempat pilar penyanggah demokrasi tersebut diatas---tentu diharapkan negara sebagai eksekutornya mampu memberikan ruang besar atas tegaknya hukum dan demokrasi, bukan lalu sebaliknya menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan untuk merobohkan tiang-tiang penyanggah demokrasi. Paling tidak despotisme negara—dibanyak pengalaman selalu mengakibatkan munculnya otoritarian. Kekuasaan ditangan satu orang, pertanyaannya bagaimana peran kelompok civil society?
Munculnya Civil Disobedience
Dalam tradisi perkembangan politik pembangkangan civil society menjadi sesuatu yang tidak asing lagi, mengingat berbagai rentetan peristiwa melibatkan kelompok ini untuk mengambil peran politik diluar parlemen. Henry David Thoreau (1848) yang dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah pembangkangan civil society---menaruh harapan yang besar bahwa kaum ini akan mengambil peran-peran sosial di arena politik sebagai alat kontrol demokrasi.
Sebagai lnstrument kontrol dalam demokrasi---peristiwa tampilnya kaum civil society terlihat seperti Khomeini dengan pengikutnya menyerukan menolak pembayaran pajak dan listrik di Iran yang menyebabkan negara itu kolaps. Demikian pula Mahatma Gandhi pada bulan maret 1930 dengan para pengikutnya berjalan kaki sepanjang 386 kilometer untuk mengkampanyekan penolakan terhadap pajak garam di India oleh kebijakan pemerintah Inggris agar masyarakat India dilarang memproduksi garam untuk keperluan rumah tangga, pemerintah Inggris meminta agar penduduk India harus patuh dan taat pada kebijkan ekonomi tentang garam.
Mahatma Gandhi terus memimpin gerakan pembangkangan civil society dengan melakukan “Pawai garan atau Satyagraha” selama berbulan-bulan, yang mengharuskan 60,000 orang ditangkap dan dipenjara di bawah kekuasaan Inggris. Namun gerkan itu tidak memudar justru semakin massif dan mendapatkan dukungan lebih banyak. Sehingga tahun 1931 terjadilah konsensus politik Gandhi dengan Inggris yang kemudian disebut dengan Gandhi-Irwin yang melahirkan kesepakatan politik yakni penduduk India diberikan ruang untuk memproduksi garam sendiri untuk kebutuhan rumah tangga tetapi juga untuk keperluan ekonomi yang lebih besar.
Bahkan pada tahun 1986 beberapa negara koloni Uni Soviet (Sekarang Rusia) seperti Estonia, Latvia dan Lituania perlawanan dilakukan dengan cara aksi bernyanyi dengan lagu-lagu budaya sepanjang lima tahun, sehingga di tahun 1991 Uni Soviet mengakui kemerdekaan Estonia dan beberapa negara Baltik lainnya. Dari sini kita bisa memahami kalau pembangkangan civil society itu tak selalu dengan kekerasan---tetapi bisa dilakukan dengan cara-cara apolitik melalui tulisan, diksusi, orasi, kampanye, boikot, long march, dan beberapa negara di dunia melakukan itu sebagai bentuk mengambil posisi dan peran politik ekstra parlemen.
1998 ke arah despotisme politik 2024
26 tahun yang lalu (5 kali pemilu) adalah bukan waktu yang singkat sebagai catatan sejarah. Tragedi politik 98 adalah momentum perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan dan ketimpangan yang ada. Praktek KKN ditubuh kekuasaan dan negara memberi tekanan psikologi pada rakyat. Orde Baru yang bertahta selama 32 tahun lamanya---pada akhirnya tumbang pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai kemenangan kelompok midle class (kelas menengah) atau civil society.
Despotisme kekuasaan orde baru---menjadi catatan sejarah politik kelam di Indonesia. Dan keberhasilan kelompok civil society adalah merupakan “Revolusi Kaum Muda” sebagaimana dicatat oleh Bennedict Anderson. Peran politik kaum muda (civil society) sebagai kekuatan ekstra-parlemen dianggap sebagai bentuk responsibility terhadap kontrol demokrasi disaat demokrasi mengalami pemasungan. Tumbangnya Orde Baru adalah bagian penting untuk mengembalikan posisi demokrasi yang sesungguhnya yang selama ini sentralistik.
Reformasi 98 adalah catatan monumental akan eksistensi kelompok midle clas atau civil society dalam peran politiknya diluar parlemen. Paling tidak reformasi dijadikan tolok ukur untuk merespon kondisi politik, hukum, ekonomi dan demokrasi yang ahri-hari ini mengalami penggerusan dan pembunuhan secara sadis oleh kekuasaan dan perangkat negara yang ikut digerakkan.
Dalam konstitusi, negara memberikan kebebasan untuk berpendapat---negara menjamin hak-hak konstitusi warga negara. Tetapi dibanyak fakta semua itu justru dikebiri, diamputasi bahkan dibunuh secara sadis. Pembunuhan itu tidak secara gamblang secara fisik, tetapi dengan cara melakukan kriminalisasi jurnalis, media, aktivis, ulama, budayawan dan kelompok-kelompok lain yang memilih berseberangan dengan kekuasaan. Bahkan ada yang dibunuh idealismenya dengan memberikan posisi tawar diruang kekuasaan.
Partai yang idealis pun terjebak dalam perangkap kekuasaan karena iming-iming dan rente kuasa. Ini sebuah kenaifan dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Khutbah politik atas nama demokrasi juga kita sering dengar oleh para politisi yang prokekuasaan. Seperti dulu menolak dinasti, sekarang mendukungnya. Politi(si) memang harus berani melompat, dan harus berani melawan ideologinya sendiri.
Pengalaman politik dari Pilpres ke pilkada serentak 2024---terus menyisakan “kisah dendam” yang berkepanjangan. Pilpres sudah selesai, dendam belumlah usai. Kedewasaan berpolitik tentu harus dipertanyakan kembali bukan hanya kepada warga negara yang harus memilih pindah pilihan politiknya, tetapi juga para politisi seperti ketua partai politik, anggota DPR bahkan sekelas presiden pun juga perlu dipertanyakan. Maka mungkin kita secara berani harus mengatakan kalau ini adalah fase ketidakjujuran dalam berdemokrasi.
Ketidakjujuran dalam politik dan berdemokrasi dengan berbagai prilaku perusakan demokrasi dan hukum terkait undang-undang pilkada misalnya ; adalah bentuk pembangkangan negara atas konstitusi. Secara logika ketika negara sudah melawan konstitusi, maka keberpihakan politik rakyat pun sudah dihianati oleh mereka yang berkuasa. Sebagai negara hukum, seharusnya hukumlah yang tertinggi atas bergeraknya dimensi katatanegaraan, bukan dominasi kekuasaan yang lalu mempreteli hukum demi memenuhi hasrat dan birahi kekuasaan.
Karena itu aksi 21 Agustus 2024 adalah bentuk “perlawanan civil society” terhadap ketidakpatuhan negara terhadap konstitusi negara. Perihal kepatuhan “Sejarah ummat manusia lahir karena kepatuhan, dan boleh jadi sejarah ummat manusia akan berakhir karena ketidakpatuhan”---(Erich Fromm)
Dengan demikian, konstitusi negara harus dikawal sebagai jaminan kehidupan bernegara dengan baik, tanpa konstitusi negara kita akan mengalami “homo homi lupus” manusia yang satu akan menjadi pemangsa bagi manusia lainnya. Sehingga kontrol politik tetap harus dihidupkan sebagai pilar negara demokrasi.
“Kekuasaan yang tuli, harus diingatkan dengan suara yang keras lewat demonstrasi”---(saifuddin)
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis buku: Politik tanpa identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, cacatan cacat-an Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.