Di Solo, kota yang pernah dipimpin Joko Widodo (Jokowi) dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, perlawanan terhadap upaya DPR mengakali putusan Mahkamah Konstitusi terjadi kemarin (22/8). Bentangan spanduk yang mengecam Jokowi dan keluarga pun terlihat.
Seperti dilaporkan Jawa Pos Radar Solo, di antaranya, ”Tukang Kayu Sedang Mempersiapkan Kursi Untuk Anaknya#OrbaJilid2’’; dan ’’Rezim Jokowi”. Juga, ”Tolak Pilkada Akal-akalan”; ”Habis Gibran, Terbitlah Kaesang”.
Mereka juga membawa spanduk bergambar Jokowi, Kaesang, dan Gibran. Ada pula pocong berwajah Jokowi. Ratusan mahasiswa yang menjadi peserta aksi mengutarakan tuntutan mereka di halaman Balai Kota Solo.
”Demokrasi kita telah diacak-acak dan tidak berjalan semestinya karena ambisi seseorang,’’ kata Ketua BEM UNS Agung Lucky Pradita.
Massa berkumpul pukul 14.30 WIB di bundaran Gladak Solo di Jalan Slamet Riyadi. Mereka berjalan mundur menuju Balai Kota Solo sebagai simbol mundurnya demokrasi Indonesia.
Ketua Koordinator Pusat (Kaorpus) BEM Solo Raya Rozin Avianto menuturkan bahwa aksi itu merupakan hasil kesepakatan bersama dari seluruh aksi unsur kampus di Solo Raya. ”Bukan dari satu dua kampus saja karena kami melihat demokrasi kita dicederai, negara kita dirusak,’’ tutur dia.
Gas Air Mata
Aksi serupa dilakukan ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Semarang, Jawa Tengah, di depan kantor gubernur Jawa Tengah yang bersebelahan dengan gedung DPRD Jawa Tengah kemarin. Pantauan Jawa Pos Radar Semarang, para mahasiswa peserta aksi berasal dari sejumlah universitas di Kota Semarang. Misalnya, UIN Walisongo, Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Soegijapranata Catholic University (SCU), Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), dan beberapa kampus lainnya.
Karena tidak diizinkan masuk, aksi demo yang tadinya di depan gerbang kantor DPRD Jateng dan gubernur Jateng beralih ke samping Taman Indonesia Kaya sekitar pukul 12.14 WIB. Mereka menuju gerbang kantor DPRD Jateng bagian samping.
Peserta aksi langsung merangsek ke gerbang dan berupaya masuk dengan merobohkan gerbang kantor DPRD. Pagar setinggi 2,5 meter tersebut digoyahkan dan berupaya dirobohkan hingga mengalami kerusakan. Beruntung, pagar tidak sampai roboh, tetapi miring dan rusak.
Namun pada akhirnya, pagar tersebut jebol dan sejumlah mahasiswa berhasil masuk. Meski demikian, mereka tidak bisa masuk lebih jauh lantaran langsung dicegah aparat kepolisian.
Aparat kepolisian juga mengamankan satu mahasiswa yang diduga menjadi provokator. Massa aksi yang tak terima pun melakukan perlawanan. Hingga aparat kepolisian akhirnya melepas water canon dan gas air mata. Belasan mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit akibat terkena gas air mata dan terluka.
Ketua BEM Undip Farid Darmawan menyampaikan, jumlah massa aksi yang ikut mengawal putusan MK lebih dari 1.000 orang. Ada empat tuntutan yang dibawa. Di antaranya, mendesak DPR agar tidak mengesahkan revisi UU Pilkada.
Perlawanan di Tugu Pahlawan
Massa dari berbagai elemen masyarakat juga menggelar unjuk rasa di Tugu Pahlawan, Surabaya, kemarin (22/8). Mulai dosen, mahasiswa, sampai tenaga kesehatan. Mereka menyuarakan penolakan terhadap RUU Pilkada 2024.
Thantowy Syamsuddin, koordinator aksi, menyatakan bahwa demo yang digelar adalah bentuk keprihatinan terhadap situasi politik. ”Kami berkumpul untuk menyuarakan keresahan,’’ katanya.
Massa yang menjadi peserta aksi kompak mengenakan pakaian hitam. Keputusan itu diambil sebagai bentuk keprihatinan terhadap negara. Beberapa juga membawa poster. Di antaranya, bertulisan ”Menolak Dinasti Politik”, ”Tolak RUU Pilkada”, dan ”Kawal Putusan MK”.
Sumber: jawapos
Foto: Polisi mengamankan salah satu pengunjuk rasa saat saat bentrok aksi menolak pengesahan revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Aksi menolak upaya revisi Undang-undang Pilkada oleh DPR RI tersebut berakhir ricuh dengan pihak kepolisian. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)