Aksi Peringatan Darurat pada Kamis (22/8/2024) di sejumlah wilayah menyisakan berbagai masalah salah satunya terkait penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh Kepolisian. Peringatan Darurat merupakan aksi yang diinisiasi oleh kelompok warga yang mendesak agar tidak adanya manipulasi aturan oleh pemerintah dan DPR demi melanggengkan politik dinasti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Desakan yang dilakukan kelompok warga direspons secara brutal oleh Kepolisian dengan penggunaan gas air mata secara serampangan sehingga menimbulkan banyak korban.
Berdasarkan hasil penelusuran melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (lpse.polri.go.id) milik Polri, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam keterangannya dikutip di Jakarta, Minggu (25/8/2024), mendapati terdapat lima kali belanja yang dilakukan oleh Polri dalam rentang Desember 2023 hingga Februari 2024. Total pajak warga yang digunakan oleh Polri untuk membelanjakan gas air mata senilai Rp188,9 miliar dan tersebar di dua satuan kerja, yakni Korbrimob Polri dan Korsabhara Baharkam Polri.
ICW menyebutkan terdapat tiga persoalan terhadap pembelian gas air mata oleh Polri selama ini. Pertama, pembangkangan Polri atas kewajiban membuka informasi pengadaan, terutama kontrak pengadaan. "Sejak Agustus 2023 lalu, ICW bersama KontraS dan Trend Asia menuntut Polri membuka kontrak pembelian gas air mata dengan mengajukan permohonan informasi," kata Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah.
Namun, dia mengungkapkan, Polri menolak membuka informasi tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya informasi yang ditutupi oleh Polri. Ketertutupan informasi pengadaan yang telah ditegaskan dalam Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) patut dilihat sebagai indikasi awal adanya pengadaan yang bermasalah, bahkan dapat mengarah pada potensi korupsi.
Menyusul ketertutupan Polri, ICW pada Desember 2023 lalu telah mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). "Hingga hari ini, KIP tidak kunjung memberi kejelasan penyelesaian sengketa informasi yang kami ajukan," ujar Wana.
ICW, kata dia, menduga KIP takut untuk memproses sengketa informasi melawan Polri, bukan hanya perihal padatnya agenda penyelesaian sengketa informasi oleh KIP. Sebab, jika merujuk pada PerKI SLIP yang KIP keluarkan, proses sengketa tak akan membutuhkan waktu lama karena informasi yang ICW mohon jelas merupakan informasi publik.
Kedua, lanjut Wana, tidak adanya pertanggungjawaban atas penggunaan gas air mata oleh Polri. Berdasarkan penelusuran ICW, 1 dari 5 paket pengadaan yang dikerjakan, Polri memberikan informasi mengenai jumlah amunisi yang dibeli, yaitu sebanyak 38.216 peluru. Sedangkan pada 4 paket pengadaan lainnya tidak tersedia informasi secara mendetil jumlah peluru yang dibeli oleh Polri.
Hal ini menyulitkan bagi publik untuk menagih akuntabilitas di saat proses penggunaan gas air mata dilakukan secara brutal dan serampangan. Apabila tidak ada pertanggungjawaban, maka polisi patut diduga menggunakan gas air mata kedaluwarsa seperti yang terjadi di tragedi Kanjuruhan.
Ketiga, menurut ICW, pembelian dilakukan di tengah situasi keamanan yang tidak mendesak. Patut diduga alasan di balik belanja gas air mata bernilai fantastis tersebut semata berkaitan dengan upaya pembungkaman kritik masyarakat sipil di tengah tahun politik 2024.
Padahal, Wana menekankan, kritik publik yang meninggi adalah konsekuensi logis atas praktik kompetisi politik elektoral yang diwarnai siasat culas. Ini sekaligus menunjukkan dangkalnya strategi pengamanan Polri, yaitu dengan jalan pintas menyakiti publik pembayar pajak yang mempunyai hak bersuara dengan gas air mata. "Dengan demikian, belanja gas air mata oleh Polri menambah daftar panjang pemborosan atau ketidaktepatan penggunaan keuangan negara," ujarnya, menegaskan.
Oleh sebab itu, ICW mendesak, pertama Polri berhenti menembakkan gas air mata ke massa aksi dan kelompok warga, kedua, Polri segera membuka dokumen kontrak pembelian gas air mata senilai Rp188,9 miliar yang berasal dari pajak warga, ketiga, Polri segera membuka laporan pertanggungjawaban terhadap penggunaan gas air mata sejak 2019 hingga 2024, keempat, Polri berhenti membeli gas air mata hingga seluruh dokumen kontrak dan laporan pertanggungjawaban disampaikan kepada publik, dan kelima, Komisi Informasi Pusat segera menindaklanjuti pengajuan sengketa informasi keterbukaan pengadaan gas air mata Polri.
Sumber: inilah
Foto: Aparat kepolisian tengah menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa. (Foto ilustrasi: Antara /Septianda Perdana)