Pengunduran diri
Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar)
dinilai tak lazim.
Direktur
Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan menilai, corak politik di
Golkar pasca reformasi terbilang terbuka. Karena, seluruh kader dapat
ikut berkompetisi menjadi ketua umum.
"Mundurnya
Airlangga dari ketum Golkar memang mengejutkan dan di luar kelaziman.
Karena tradisi di Golkar justru berebut dan mempertahankan posisi ketua
umum," ujar Yusak kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Selasa
(13/8).
Yusak
menduga, ada pihak luar Golkar yang menekan Airlangga meskipun kini
masih berada di barisan pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni
menjalankan tugas sebagai Menteri Koordinator (Menko) Bidang
Perekonomian.
"Tampaknya memang ada kekuatan besar yang memaksa Airlangga mundur," sambungnya.
Salah
satu strategi yang dimainkan pihak luar itu, diyakini Yusak adalah
dengan mengangkat kembali kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit
mentah atau crude palm oil (CPO) yang ditangani Kejaksaan Agung
(Kejagung).
"Bisa
saja Airlangga tersandera dengan kasus hukum lama yang pernah muncul,
sehingga terjadi kompromi politik. Maka tidak mungkin Airlangga mundur
kalau tidak ada tekanan," kata Yusak.
Oleh
karena itu, yang saat ini bisa dicurigai publik sebagai pihak yang
mengintervensi Airlangga adalah rezim. Dimana, terdapat kelompok dalam
Golkar yang menjadi antek-anteknya Presiden Joko Widodo.
"Faksi
Jokowi melalui Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi Jokowi yang juga
kader Golkar) sangat berkepentingan dengan kursi Ketua Umum Golkar,"
demikian Yusak.
Sumber: rmol
Foto: Kolase Airlangga Hartarto dan Bahlil Lahadalia/RMOL