Majelis Ulama Indonesia meminta pertimbangan terkait penghapusan sunat perempuan yang tertuang dalam PP nomor 28 tahun 2024 tentang kesehatan.
"Saya kira ini perlu dipertimbangkan di pasal 102 huruf A, bahwa frasa sunat perempuan, karena kata sunat itu menggunakan istilah agama," kata Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftahul Huda di Jakarta Selatan Jumat 30 Agustus 2024.
"Supaya tidak jadi kerancuan, dan sunat di dalam agama itu baik perempuan adalah dibolehkan, kalo dilarang berarti pemerintah bertabrakan dengan norma agama," terangnya.
Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar frasa sunat perempuan diganti dengan pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP).
"Penggunaan istilah agama itu harus merujuk kepada definisi dan argumentasi agama," katanya.
"Kemudian dengan mengganti P2GP itu juga mencakup praktek-praktek khitan perempuan yang dilarang termasuk yang ada di dalam fatma MUI," tandasnya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi menghapus praktik sunat pada perempuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Penghapusan praktik sunat perempuan merupakan bagian dari upaya kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.
"Menghapus praktik sunat perempuan," berikut tertulis dalam pasal 102 huruf a PP Nomor 28 Tahun 2024.
Sumber: disway
Foto: Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftahul Huda di Jakarta Selatan--Istimewa