SETELAH batal gelar Paripurna sahkan revisi UU Pilkada, DPR dan pemerintah masih punya 2 cara ilegal-inkonstitusional untuk anulir keputusan MK.
Salah satunya, lewat Revisi dan Penatapan Peraturan Komisi Pemelihan Umum (PKPU) No 8 tahun 2024. Kita tahu sampai hari ini, tehitung 4 hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah pada Selasa 27 Agustus, KPU belum juga merevisi dan menetapkan PKPU sesuai keputusan MK.
KPU mengkonfirmasi, saat ini draft PKPU tentang syarat Pilkada sudah dikirimkan ke komisi II DPR untuk dikonsultasikan.
Dalam kaitan ini, perlu diwaspadai. Dalam sejarahnya, KPU dan Komisi II seringkali memaksakan sejumlah ketentuan yang berbeda dengan keputusan MK. Contoh paling mutakhir, Komisi II dan KPU tidak merevisi usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Atas perilaku inkonstitusional tersebut, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada tanggal 5 Februari 2024 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari kala itu.
Masyarakat harus mengawal dengan ketat proses revisi PKPU yg saat ini sedang dikonsultasikan pembentukannya di Komisi II. Jangan sampai, KPU dan DPR tidak menyesuaikan proses revisi sesuai keputusan MK. Justru menggunakan pendekatan tafsir lain untuk menambahkan frasa yang melemahkan putusan MK.
Terutama terkait penyesuaian pasal yang mengatur ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah.
Soal ambang batas, lewat putusan No.60/PUU-XXI/2024 telah diturunkan, misalnya untuk Jakarta 7,5% dari 20%. Sementara untuk syarat usia, minimal 30 Tahun pada saat penetapan pasangan calon.
Dua ketentuan ini, wajib dimasukan KPU dan Komisi II ke dalam revisi PKPU 8 Tahun 2024. Jangan sampai KPU dan Komisi II kembali melakukan manuver, siasat licik, memaksakan penafsiran berbeda untuk melenyapkan atau melonggarkan bunyi putusan MK itu.
Kita tahu dalam revisi UU Pilkada Kemarin, Baleg DPR memang tidak melenyapkan keputusan MK sepenuhnya. Tapi melonggarkan ketentuan dalam putusan tersebut.
Menggunakan penafsiran lain, Baleg memutuskan, ambang batas 7,5% hanya diperuntukan untuk partai yg tidak punya kursi di Parlemen. Sementara partai basis parlemen tetap wajib memenuhi syarat 20% yang diatur dalam aturan sebelumnya.
Padahal dalam keputusan MK jelas sekali tertulis, penurunan ambang batas 7,5%, diperuntukan bagi semua partai, baik yang punya kursi di parlemen maupun tidak.
Keputusan MK ini sangat jelas. Bunyi norma yang sangat terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain yang berbeda selain dari norma yang sudah ditetapkan MK.
Hal ini juga berlaku untuk PKPU, dalam proses revisinya, KPU dan Komisi II DPR berkewajiban menyerap norma dalam keputusan MK tanpa diperbolehkan menafsirkan atau menambahkan frasa lain yang justru akan bermuara pada perbedaan norma yang dimaksud dalam putusan MK.
Sementara untuk syarat usia pencalonan, bunyi keputusan MK sangat jelas, minimal 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon. Kemarin, dalam revisi UU Pilkada, panja di Baleg DPR merubahnya menjadi: "usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon".
Padahal sangat jelas bunyi keputusan MK. Tidak ada unsur multitafsir yang memungkinkan DPR menggunakan pemaknaan lain. Selain itu, menurut MK, penambahan frasa "usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon terpilih" bertentangan dengan maksud pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yg menyatakan: Usia minimal 30 tahun saat penetapan pasangan calon.
Sekalipun MK tidak mencantumkan secara eksplisit, historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan dengan pemilihan lain, penentuan batas usia minimum calon kepala daerah selalu dihitung menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon.
Penentuan titik atau batas pada saat penetaoan calon menjadi semacam postulat atau asumsi, menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya.
Artinya, dalam pembentukan PKPU, keputusan MK terkait syarat usia minimal calon, tidak memberi peluang kepada KPU dan Komisi II DPR menambahkan frasa atau pemaknaan lain selain apa yang sudah ditulis MK dalam putusannya. Termasuk mengecualikan putusan MK tersebut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Satu-satunya kewajiban KPU dan Komisi II adalah menerapkan asas lex posterior derogat legi priori atau peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Pertauran terbaru yg dimaksud untuk diterapkan dalam pembentukan PKPU adalah putusan MK.
Secara konstitusional keputusan MK menduduki derajat paling tinggi, final dan tidak dapat dikesampingkan oleh aturan yang dikeluarkan lembaga apapun. Termasuk keputusan MA yang kemarin menjadi rujukan Panja Baleg DPR dalam merevisi UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan.
Secara ketatanegaraan, dari sisi relasi kewenangan, MA menguji PKPU terhadap UU Pilkada. Sedangkan MK menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, putusan MK memiliki hirarki yang lebih tinggi, mengesampingkan putusan MA.
Oleh karena itu, dalam pembahasan revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI, KPU bersama anggota dewan, Kemendagrii, Bawaslu RI dan DKPP, jangan sampai mengabaikan atau menganulir putusan MK.
Jangan sampai tunduk di bawah manuver dan intimidasi licik kekuasaan untuk memuluskan kepentingan dinasti politiknya.
Masyarakat tetap waspada dalam mode siaga onfire mengawal pembahasan, revisi dan penetapan PKPU. Awas kecolongan.
Kemarin kita tau, pasca revisi UU Pilkada, sebelum ditetapkan dalam paripurna tingkat II DPR, muncul demonstrasi masif di berbagai daerah yang berpusat di Gedung DPR RI dan MK.
Bisa jadi, peristiwa di Baleg DPR adalah bagian dari skenario kekuasaan melakukan "stress test", mengukur besarnya gelombang tekanan dan perlawanan masyarakat.
Hasilnya seperti yang terlihat, gelombang perlawanan masyarakat, masih terbilang lemah dibandingkan yang sudah-sudah. Jauh lebih rendah dibandingkan aksi 212 yang menghadirkan 7 juta orang kepung Ibu Kota atau demonstrasi penolakan hasil pilpres 2019.
Boleh jadi, setelah ini kekuasaan akan kembali manuver lewat PKPU dengan mode ketahanan dan daya tekan yang sudah terancang dengan baik untuk melemahkan perlawanan rakyat, secara diktator memaksa, membungkan rakyat mengandalkan kekuatan militer dan kepolisian untuk menerima PKPU hasil manuver mereka.
Apapun itu, semua kemungkinan harus dilertimbangkan dan diwaspadai dengan baik. Kita sedang berhadapan dengan rezim culas yang sudah putus urat malunya, menghalalkan segala cara loloskan syahwat kekuasaan.
Sejarahnya banyak, faktanya sudah tak terhitung, betapa untuk memenuhi ambisinya, kekuasaan tidak akan segan mengintimidasi, mengorbankan, bahkan melukai rakyat sendiri.
Semoga, tidak terjadi. Revisi PKPU dilakukan sesuai perintah dan keputusa MK. Indonesia dijauhkan dari segala tragedi, perpecahan, intimidasi akibat ulah para elit yang serakah, rakus dan bajingan. (*)
Oleh Faisal S Sallatalohy
Mahasiswa Doktor Hukum Trisakti
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.