Refleksi sejati keindonesiaan adalah kesadaran bahwasanya negeri ini hanya merdeka dan berdaulat satu hari saja yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum dan sesudah itu, bangsa ini hanya hidup dari penjajahan ke penjajahan berikutnya, bahkan hingga saat ini.
Indonesia dengan visi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sesungguhnya adalah mitos. Faktanya dalam 79 tahun usia republik, Indonesia menjadi negara yang semu kemerdekaannya. Hanya formalitas menggengam legalitas dan legitimasi, namun kenyataannya negara merdeka dan berdaulat hanya sebatas utopi atau mimpi atau sekedar ilusi.
Sebelum kelahiran negara yang bernama Republik Indonesia hingga sekarang ini. Rakyat tetap hidup di alam feodalisme dan kolonialisme. Kemerdekaan yang hakiki dan substansi hanya ada pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan makna lain, Indonesia hanya merdeka sehari saja. Sebelum dan sesudah peristiwa proklamasi kemerdekaan yang historis dan heroik itu, rakyat hanya menjadi populasi jajahan.
Sebelum 17 Agustus 1945, jauh berabad-abad lamanya rakyat berada dalam cengkeraman sistem kerajaan, kongsi dagang VOC, Portugis, Belanda dan Jepang.
Dari Monarki, perdagangan dan ekspansi wilayah, hingga akhirnya nusantara kala itu berada dalam cengkeraman koloni dan imperium asing.
Sungguh pesona kekayaan alam dan wilayah strategis secara ekonomi dan politik, nusantara layak dijadikan bumi jajahan. Indonesia hanya terus menjadi langganan negara jajahan, bedanya dulu oleh bangsa asing, sekarang oleh bangsanya sendiri, oleh pemimpin dan elit politik. Tak terkecuali dengan oligarki dan politik dinasti.
Sehari setelah 17 Agustus 1945, Republik Indonesia kembali dalam pangkuan penjajahan. Kehilangan kemerdekaan dan kedaulatan, yang ironisnya dilakukan oleh bangsanya sendiri meski tak lepas dari hegemoni dan dominasi bangsa asing. Soekarno-Hatta dan para pendiri bangsa lainnya terjebak dalam konflik berlarut-larut.
Bahkan hanya berselang sehari, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia perlahan tapi pasti telah lepas. Pemberontakan, kudeta dan saling membunuh sesama anak bangsa kerap terjadi hingga saat ini. Ambisi, kebencian dan dendam sekaligus hasrat materialisme menyeruak pada sesama pemimpin. Seiring itu rakyat terpapar penderitaan berkepanjangan dan kekayaan negara terus dieksploitasi bangsa asing dan segelintir bangsa sendiri.
Di penghujung satu dekade rezim yang feodal, fasis dan tiran. Para pemimpin, elit politik bersama korporasi kapital mengukuhkan kelompoknya sebagai penganut neo kolonialisme dan neo imperialisme meski tetap menjadi sub ordinat globalisme. Bukan hanya presiden dan para menteri, semua lembaga tinggi negara, ada sebagian TNI-Polri, ada sebagian ulama dan intelektual, ada sebagian mahasiswa dan aktifis pergerakan yang telah ikut bergabung dalam satu paduan suara kejahatan konstitusi dan demokrasi. Begitu banyak yang terhipnotis oleh tipu daya dan hasrat duniawi.
Kehancuran nilai-nilai dan bangkitnya materialisme pada bangsa Indonesia, sejauh ini bukan semata karena pemimpin yang repredif dan dzolim. Bukan karena kekuatan dan keperkasaan elit, melainkan karena malas, penakut dan lemahnya rakyat. Kelompok terdidik dan tercerahkan yang sedikit tak mampu membangkitkan kesadaran rakyat mayoritas. Rakyat yang bodoh, miskin dan lapar telah menjadi senjata ampuh bagi elit politik untuk terus mencabik-cabik dan memangsanya.
Tak cukup upaya perlawanan kaum sadar kritis dan perlawanan, untuk melawan penjajahan dan perbudakan modern. Sejatinya, hidup bangsa pada hari ini dan masa depan anak-cucunya turun temurun sangat ditentukan oleh keberanian dan mental baja rakyat itu sendiri. Perubahan hanya datang dari yang susah payah mencari makan, susah payah mendapat pendidikan, susah payah mendapat pelayanan kesehatan dan pelbagai kesusahan untuk kelayakan hidup. Rakyat yang terpinggirkan yang papa dan nestapa itu yang menjadi korban-korban ketamakan struktural.
Semua mungkin sudah sadar dan kini termanggu. Apa yang harus dan bisa dilakukan? Masihkan layak rakyat menyebut dirinya sebagai warga negara? Hidup terjajah dan menjadi budak di negara sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Atau harus bangkit merebut kembali kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang telah lama hilang. Merdeka sekali lagi dan selamanya setelah sehari pada tanggal 17 Agustus 1945. Ayo, merdeka sekali lagi. (*)
Oleh Yusuf Blegur
Mantan Presidium GMNI
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.