Ketua MPR Bambang Soesatyo secara resmi mencabut Tap MPRS No XXXIIII/MPRS/1967. Isi Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 adalah pencabutan kekuasaan presiden dari Sukarno. Peraturan itu menyinggung keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S/PKI. Bagian pertimbangan Tap MPRS itu menyebut Sukarno membuat keputusan yang menguntungkan gerakan G30S/PKI. Selain itu, Sukarno disebut melindungi para tokoh PKI.
Pencabutan ini mendapat kritikan keras dari kelompok yang sangat anti-PKI. Mereka merasa bahwa pencabutan ini membuka peluang bagi kebangkitan PKI dan memicu kecemasan di kalangan masyarakat yang masih trauma dengan peristiwa G30S dan tindakan keras yang mengikuti.
Salah satu dampak langsung adalah munculnya perdebatan publik yang intens mengenai sejarah dan narasi politik Indonesia. Banyak anggota kelompok anti-PKI yang berusaha untuk menjaga narasi mereka agar tetap relevan, dengan menekankan pentingnya memori kolektif tentang bahaya PKI. Mereka berargumen bahwa pencabutan ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik, serta berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari trauma masa lalu.
Dampak yang lebih luas adalah munculnya polarisasi di dalam masyarakat. Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung pencabutan dan berusaha untuk meluruskan sejarah dan menawarkan ruang bagi rekonsiliasi, sementara di sisi lain ada kelompok anti-PKI yang tetap berpegang pada narasi lama dan menolak untuk mengakui perubahan tersebut. Polarisasi ini berpotensi memicu ketegangan sosial yang lebih dalam, menciptakan kesenjangan antar kelompok yang sulit untuk dijembatani.
Reaksi Masyarakat dan Media
Reaksi masyarakat terhadap pencabutan Tap MPRS No XXXIIII/MPRS/1967 sangat beragam. Beberapa kalangan menyambut baik langkah tersebut, menganggapnya sebagai kemajuan dalam perjalanan bangsa menuju demokrasi yang lebih inklusif. Mereka melihat pencabutan ini sebagai langkah penting untuk menghilangkan stigma yang telah merugikan banyak orang yang tidak terlibat dalam kegiatan PKI. Ada harapan bahwa dengan menghapuskan hukum yang diskriminatif, masyarakat dapat memulai proses rekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antarkelompok yang telah lama terpecah.
Namun, di sisi lain, banyak juga yang skeptis. Kelompok anti-PKI, yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, seperti veteran militer, pemuka agama, dan aktivis masyarakat sipil, mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap pencabutan ini. Mereka menilai bahwa langkah ini berpotensi menghapuskan perjuangan yang telah mereka lakukan selama ini untuk melawan ideologi komunis. Media massa juga memainkan peranan penting dalam membentuk opini publik. Berbagai sudut pandang diulas, dari dukungan terhadap pencabutan hingga penolakan yang mengemuka dari kelompok anti-PKI.
Media sosial menjadi arena penting di mana pandangan dan opini mengenai pencabutan ini saling bertabrakan. Di sini, narasi-narasi alternatif muncul, baik yang pro maupun kontra terhadap keputusan tersebut. Perdebatan yang terjadi di media sosial menciptakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskusi yang lebih luas mengenai ingatan kolektif, sejarah politik, dan identitas nasional.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Sejarah Indonesia
Dampak jangka panjang dari pencabutan Tap MPRS No XXXIIII/MPRS/1967 terhadap sejarah Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Pencabutan ini membuka jalan bagi pengkajian ulang sejarah yang lebih komprehensif. Dengan dihapuskannya stigma terhadap PKI, banyak peneliti dan akademisi mulai berusaha untuk menggali kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1960-an dengan cara yang lebih objektif. Hal ini mendorong munculnya narasi alternatif yang sering kali diabaikan atau diputarbalikkan dalam pengajaran sejarah resmi selama ini.
Penting untuk dicatat bahwa proses ini tidak hanya menyangkut sejarah PKI, tetapi juga berdampak pada pemahaman masyarakat tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan pentingnya pluralisme. Dengan belajar dari sejarah yang kompleks, masyarakat diharapkan dapat lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan masa kini dan mendatang. Diskusi yang lebih terbuka mengenai sejarah juga memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan untuk bersuara.
Namun, proses pengkajian sejarah yang lebih inklusif ini tidak lepas dari tantangan. Banyak pihak yang masih merasa terancam oleh kemungkinan perubahan narasi. Keterbukaan untuk mendiskusikan berbagai sudut pandang sejarah sering kali dihadapkan pada resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa identitas dan legitimasi mereka terancam. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan ruang dialog yang konstruktif guna menemukan titik temu bagi semua pihak.
Rekonsiliasi dan Proses Penyembuhan
Pencabutan Tap MPRS No XXXIIII/MPRS/1967 juga membawa harapan akan proses rekonsiliasi dan penyembuhan bagi masyarakat yang terbelah akibat konflik ideologis. Proses ini bukanlah hal yang mudah, mengingat banyaknya luka sejarah yang masih membekas dalam ingatan kolektif. Namun, dengan adanya langkah simbolis seperti pencabutan ini, ada harapan untuk membangun jembatan antara berbagai kelompok yang selama ini saling berseberangan.
Pendekatan rekonsiliasi sering kali melibatkan dialog antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Dialog ini dapat membantu mengurangi ketegangan dan membangun pemahaman yang lebih baik antara pihak-pihak yang berbeda. Dalam konteks ini, investasi dalam pendidikan dan pengajaran sejarah yang adil dan seimbang menjadi sangat penting. Melalui pendidikan, generasi mendatang dapat belajar untuk mengenali dan menghargai keragaman pandangan serta pentingnya dialog dalam menyelesaikan konflik.
Proses rekonsiliasi juga memerlukan keberanian dari para pemimpin politik dan masyarakat sipil untuk berkompromi dan saling mendengarkan. Tanpa adanya komitmen untuk memahami dan menghargai pengalaman satu sama lain, upaya rekonsiliasi akan sulit untuk tercapai. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses ini dengan sikap terbuka dan penuh pengertian.
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat Politik dan Kader Muhammadiyah Kudus