SUARA mengejek anggota MPR kepada keluarga Jokowi termasuk Gibran patut menjadi catatan sebagai realitas politik. Pada rakyat kebanyakan suara huuuu itu sudah jauh lebih keras gemuruhnya. Pidato Presiden yang berapi-api melempem seolah tersiram air oleh profil Wapres yang mendampingi. Dari sudut manapun kita menilai bahwa Gibran adalah parasit yang menempel pada Prabowo dan bangsa Indonesia.
Gibran tidak memenuhi syarat administratif atas kesehatan yang semestinya. Dengan Fufufafa ia menampilkan diri berperilaku tercela. Sulit menepis atas kepemilikan akunnya. Gibran bertahan karena ditolong oleh ayahnya, dan publik tahu akan hal ini. Tanpa cawe-cawe Jokowi ia bukan siapa-siapa. Mungkin lebih cocok untuk tetap berjualan martabak di Solo dan cabang-cabang lainnya.
Mengenai kualitas juga dipertanyakan. Mantan Walikota tidak tamat ini masih suka dengan mainan anak-anak dan bacaannya komik. Hal yang tidak sepadan dengan jabatan yang begitu tinggi dan menentukan. Seorang pengamat dalam wawancara podcast menyebut Gibran sebagai Wapres akan berfungsi lima yaitu tukang gunting pita, pukul gong, pecah kendi, lepas burung dan lepas balon.
Berbagai penyakit baik perusakan konstitusi, demokrasi, hak asasi, moral dan agama akan membahayakan stabilitas pemerintahan Prabowo. Gibran bukan kohesi tetapi kuman penggerus kewibawaan pemerintahan. Rakyat akan menyerang Istana dari pintu butut Gibran. Prabowo terlalu berisiko jika terus melindunginya. Melindungi sama saja dengan bunuh diri.
DPR dan MPR baru harus membaca bahaya instabilitas ini. Melakukan antisipasi dini sebelum proses pembusukan terjadi. Pidato pelantikan Prabowo tentang pemulihan kedaulatan rakyat mesti menjadi spirit bagi DPR dan MPR untuk menempatkan diri sebagai lembaga yang lebih aspiratif dan terbuka. Saatnya untuk mendengarkan suara rakyat.
Beberapa sikap politik DPR dan MPR yang akan dinilai aspiratif antara lain :
Pertama, DPR melakukan koreksi atas undang-undang yang tidak memihak kepada rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU ITE, UU Minerba dan lainnya.
Kedua, membudayakan penggunaan hak angket untuk kasus dugaan korupsi, pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang. Proteksi politik untuk obyektivitas penegakan hukum.
Ketiga, membuka kran aspirasi berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, buruh, ormas keagamaan dan akademisi. Tidak phobia untuk melakukan dengar pendapat dengan kelompok kritis atau oposisi.
Keempat, DPR dan MPR mesti siap menjalankan hak konstitusional untuk memakzulkan Presiden atau Wakil Presiden sepanjang sesuai dengan aturan hukum dan berbasis pada aspirasi rakyat.
Gibran sudah sangat layak untuk dicopot dari kedudukan sebagai Wapres atas dasar tidak memenuhi syarat dan perbuatan tercela. MPR berlandaskan Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 3 Tap MPR No VI tahun 2001 serta Pasal 169 J UU No 7 tahun 2017 sudah semestinya melakukan impeachment.
Tidak perlu menunda-nunda sebab penundaan adalah jalan bagi pembusukan politik. Semakin lama tertunda, karat akan semakin menebal. Sulit untuk dibersihkan kecuali dengan amputasi total. Terlalu mahal biaya untuk revolusi sosial dan politik.
Cegah pembusukan politik dengan mencopot segera Gibran bin Jokowi.
DPR dan MPR harus memiliki nyali, bukan tenggelam dalam lobi lobi atau sekedar memakan gaji. Rakyat telah sampaikan aspirasi, kini sedang menanti bukti.
Copot Gibran, makzulkan Gibran, buang Gibran dan tenggelamkan Gibran. Pemimpin sampah tidak boleh dipertahankan di negara yang berketuhanan, adil dan beradab. (*)
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.