Polemik pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional terus menjadi perbincangan hangat.
Pengamat politik Rocky Gerung menyoroti keputusan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menilai salah satu lukisan tersebut vulgar karena menggambarkan seorang raja Jawa dalam posisi yang dianggap tidak pantas.
Rocky menilai keputusan ini berpotensi mereduksi kebebasan berekspresi di dunia seni.
Kontroversi di Balik LukisanLukisan Yos Suprapto yang menjadi sorotan menampilkan interpretasi satir tentang kekuasaan.
Fadli Zon menyebut karya itu melewati batas estetika karena menunjukkan adegan yang ia anggap tidak sesuai dengan nilai budaya.
“Kita menghargai kebebasan berekspresi, tetapi ada batasnya,” ujar Fadli Zon dalam pernyataan resminya.
Namun, Rocky Gerung memiliki pandangan berbeda.
Ia menyebut karya tersebut sebagai kritik filosofis terhadap relasi antara kekuasaan, modal, dan masyarakat.
“Dalam tradisi kekuasaan, kadang-kadang persetubuhan menjadi metafora untuk menjelaskan bagaimana kekuatan terbangun. Ini bukan vulgar, tapi bagian dari fakta peradaban manusia,” ujar Rocky dikutip dari channel Youtubenya, Minggu 22 Desember 2024.
Kritik terhadap Kebijakan MenteriRocky mempertanyakan kapasitas Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan dalam menilai karya seni.
Ia menyebut pendekatan Fadli terlalu birokratis dan politis, yang justru membatasi ruang kebebasan seni.
“Menteri Kebudayaan harus pro terhadap kebudayaan dan kebebasan berekspresi. Jangan menilai seni melalui kacamata keamanan atau politik,” tegas Rocky.
Menurut Rocky, kebijakan semacam ini mencerminkan birokratisasi seni, di mana karya budaya dikendalikan oleh kepentingan stabilitas politik.
Ia bahkan menyebut tindakan pelarangan ini sebagai bentuk “kolonisasi dunia kehidupan” yang merugikan kreativitas seniman.
Sebagai sahabat dan kolega intelektual, Rocky mengundang Fadli Zon untuk berdialog secara akademis.
Ia berharap polemik ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam memisahkan kepentingan politik dengan ruang kebudayaan.
“Saya ingin Fadli datang ke komunitas seni dan berbicara sebagai seorang intelektual, bukan sebagai birokrat. Kebudayaan tidak boleh ditafsirkan hanya dari sudut pandang politis,” ujarnya.
Rocky juga menawarkan tafsir alternatif terhadap lukisan tersebut.
Ia melihatnya sebagai representasi konflik antara modal dan kekuasaan yang merugikan masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak.
“Lukisan itu menggambarkan bagaimana ketahanan pangan hanya menjadi permainan antara modal dan kekuasaan. Ini kritik mendalam, bukan sesuatu yang vulgar,” jelas Rocky.
Rocky menegaskan bahwa seni memiliki peran vital dalam membangun peradaban yang kritis dan argumentatif.
Ia berharap Menteri Kebudayaan dapat memanfaatkan posisinya untuk mendukung kebebasan seni, bukan justru membatasinya.
“Kita butuh pemimpin yang memahami fungsi seni dalam peradaban. Menteri Kebudayaan seharusnya menjadi pendukung utama ekspresi bebas, bukan menjadi penghalang,” jelasnya.
Rocky Gerung berharap ada galeri independen yang berani memamerkan karya Yos Suprapto agar publik dapat menilai sendiri makna di balik lukisan tersebut.
Apakah Fadli Zon akan menerima tantangan Rocky untuk berdialog? Atau tetap bertahan dengan keputusannya?
Sumber: porosjakarta
Foto: Lusian Yos Suprapto yang dibredel Galerii Nasional