Presiden Indonesia ketujuh Joko Widodo (Jokowi) sangat wajar dijatuhi hukuman mati atas dugaan menerima puluhan triliun rupiah. Belum lagi kerugian keuangan dan perekonomian negara karena kebijakan Jokowi bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Sebab, UU Minerba, IKN, Cipta Kerja, Kesehatan, amandemen UU KPK serta kereta api cepat Jakarta – Bandung, merugikan ratusan trilun rupiah.
“Jika dibandingkan dengan hukuman yang diterima Akil Mokhtar, maka wajar kalau Jokowi dijatuhi hukuman mati,” kata Eks Penasihat KPK Abdullah Hehamahua dalam pernyataan yang dikutip dari www.suaranasional.com, Rabu (28/1/2025).
Kata Abdullah, Indonesia sudah biasa menjatuhkan hukuman mati bagi narapidana narkoba dan teroris. Namun, belum ada hukuman mati terhadap koruptor. Padahal, pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, menyediakan hukuman mati bagi koruptor.
“Prabowo bisa menjadi pahlawan pemberantasan korupsi jika beliau menolak grasi yang nanti diajukan Jokowi ketika Hakim menjatuhkan hukuman mati terhadapnya,” tegasnya.
Namun, sebelum permohonan grasi Jokowi sampai ke meja Prabowo, mantan “raja Solo” tersebut harus diseret ke Pengadilan. Sebab, masyarakat Indonesia geger atas pengumuman OCCRP yang menetapkan Jokowi sebagai koruptor nomor dua di dunia.
“OCCRP adalah LSM jurnalistik, bukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang harus membuktikan, ada tidaknya korupsi yang dilakukan seseorang. Asalkan OCCRP memiliki unsur 5 W dan 1 H, maka sudah terpenuhi syarat jurnalistik. Tinggal lagi APH dan Pengadilan yang melakukan pembuktian tersebut,” paparnya.
Sumber: suaranasional
Foto: Demonstran memenggal foto Jokowi (IST)