Pulau itu. Di tengah laut biru. Kini sudah bersertifikat. Hak Milik. Di tangan pribadi.
Puluhan tahun lalu, hal ini tidak pernah terbayangkan. Bahwa laut bisa punya pagar. Bahwa pasir pantai bisa jadi milik orang tertentu. Bahwa nelayan yang dulu bebas melaut, kini harus berhenti di garis yang tak kasat mata.
Tapi itu sekarang terjadi. Lebih dari 200 pulau, sudah “terjual.” Bukan main. Dan kita hanya bisa geleng-geleng kepala.
Saya tidak tahu bagaimana semua ini dimulai. Tapi pastinya ini bukan soal sederhana. Negara sudah terlalu lama tutup mata. Atau sengaja menutup mata? Entahlah. Yang jelas, celah hukum itu ada. Dan siapa lagi yang lebih pintar memanfaatkan celah kalau bukan mereka: para taipan.
Dulu, orang bilang laut itu milik semua orang. Sekarang, tidak lagi. Sekarang laut adalah proyek. Nilainya triliunan. Ada reklamasi, ada vila mewah, ada dermaga untuk yacht. Ada semuanya. Kecuali nelayan kecil.
Mereka terusir. Pelan-pelan. Tidak langsung. Tapi pasti. Dan itu dilakukan dengan rapih. Ada dokumen resmi. Ada sertifikat. Ada tanda tangan aparat. Dan kalau ada yang berani melawan? Ya, tahu sendiri. Hukum berpihak ke mana.
Tapi ini bukan hanya soal nelayan. Bukan hanya soal pulau-pulau yang jadi hak milik. Ini juga soal negara. Soal kedaulatan. Bayangkan ini: bagaimana jika suatu saat ada orang asing yang punya pulau di perbatasan? Apakah itu tidak berbahaya?
Dan lingkungan? Jangan tanya. Reklamasi itu cantik di brosur. Tapi di lapangan? Hutan mangrove dihancurkan. Ekosistem laut hilang. Ikan-ikan pergi entah ke mana. Yang kaya bertambah kaya. Yang miskin? Ya, makin tenggelam.
Lalu, siapa yang harus disalahkan? Saya tidak tahu. Terlalu banyak yang terlibat. Mulai dari pengembang, oknum pejabat, hingga aparat. Semuanya berkontribusi dalam cerita ini. Dan rakyat kecil hanya bisa pasrah.
Tapi, cerita ini belum selesai. Belum terlambat untuk berubah. Negara harus berani. Audit besar-besaran harus dilakukan. Sertifikat yang terbit di wilayah laut harus dibatalkan. Yang melanggar hukum harus dihukum. Siapa pun dia.
Ini soal masa depan. Kalau kita terus membiarkan laut dan pulau-pulau ini jatuh ke tangan segelintir orang, kita tidak hanya kehilangan tanah dan air. Kita kehilangan harga diri sebagai bangsa.
Saya selalu percaya, masih ada harapan. Asalkan kita tidak diam. Karena diam berarti menyerah. Dan menyerah bukan pilihan. Tidak untuk negeri bahari ini.
“Kita harus merobohkan pagar itu. Bukan dengan kekerasan. Tapi dengan keberanian.”@amm
Oleh: Agus Maksum
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.