Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) akan sia-sia karena MK mengeluarkan pedoman yang isinya melarang adanya koalisi gemuk.
Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan menilai, pedoman rekayasa konstitusional pasca menghapus presidential threshold tidak tepat, khususnya terkait dengan larangan adanya dominasi partai politik atau gabungan partai politik karena berakibat terbatasnya pasangan calon yang muncul.
"Kalaupun partai-partai memilih jalan berkoalisi untuk mengajukan capres-cawapres, kan nggak mungkin juga koalisinya dibatasi. Kalau tetap dibatasi agar tidak dominan, ya secara substansi sama saja ada ambang batas," kata Yusak kepada RMOL, pada Jumat 3 Januari 2025.
Di samping itu, Yusak memprediksi sejumlah dampak yang akan timbul dari presidential threshold ditiadakan. Bahkan menurutnya, efeknya akan mempengaruhi konstelasi pesta demokrasi akan lebih aman atau tidak.
"Penghapusan ambang batas pencapresan justru memicu animo masyarakat atau para petualang politik untuk berlomba-lomba membuat partai baru," ujarnya.
Lebih lanjut, dosen ilmu politik Universitas Pamulang (Unpam) itu meyakini ke depan tidak ada lagi faktor pembeda yang dapat dilihat masyarakat pemilih terhadap partai politik.
Sebabnya dari pedoman rekayasa konstitusional MK, partai politik diwajibkan mengusung capres-cawapres, karena akan berdampak tidak bisa ikut pemilu periode selanjutnya.
"Jadi partai besar atau partai yang benar-benar serius dengan partai kecil atau partai yang hanya didirikan untuk kepentingan elitenya, tidak banyak bedanya ke depan karena sama-sama bisa mengajukan capres sepanjang memenuhi syarat bisa mengikuti pemilu," demikian Yusak.
Sumber: rmol
Foto: Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan/Ist