KE MANA bahtera berlayar, nakhoda yang menentukan. Begitu juga sebuah organisasi. Perilaku dan budaya organisasi ditentukan oleh karakter kepemimpinannya. Untuk organisasi sebesar Nahdlatul Ulama (NU) dibutuhkan seorang Rais 'Aam yang memiliki visi ideal, terutama menyambut visi Indonesia Emas 2045. Tokoh yang layak menjadi Rais 'Aam PBNU periode 2025-2030 salah satunya Prof. Dr. (H.C.) KH. Abdul Ghofur alias Kiai Ghofur.
Berdasar penelusuran sejumlah dokumen, pesantren ini awalnya didirikan oleh Raden Qosim atau Sunan Drajat. Namun akibat penjajahan Belanda, bangunan pesantren tinggal sumur tua dan pondasi bekas langgar yang tersisa. Pada tahun 1977, Ponpes Sunan Drajat kembali dibangun dan diasuh oleh Prof. Dr (HC). KH Abdul Ghofur. Selain menjadi seorang ulama, pesilat, ilmuwan, dan pimpinan pondok pesantren, KH. Abdul Ghofur juga merupakan sosok pengusaha yang sukses. Selama kepemimpinannya dan merintis Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Beliau menjadikan pesantren dapat mandiri membiayai biaya hidup sehari-hari untuk ribuan santrinya secara gratis dengan menjalankan berbagai perusahaan, misalnya penambangan kapur, penggalangan kapal laut, usaha pengrajin kayu, industri pupuk, peternakan sapi, usaha bordir & konveksi kain, produksi air mineral “Aidrat”, produksi jus “Mengkudu Sunan”, perkebunan mengkudu, pembudidayaan ikan lele, pembuatan madu asma “Tawon Bunga”, pembuatan minyak kayu putih, garam “Samudera”, radio Persada FM 97.2 MHz, channel Persada TV, dan usaha-usaha lainnya.
Berikut enam alasan mengapa Kiai Ghofur layak menjadi Rais 'Aam PBNU masa mendatang. Pertama, berpengalaman menjadi Musytasar PWNU Jatim. Ini alasan normatif yang memungkinkan seseorang yang akan berkarir di pengurus besar harus memiliki pengalaman di tingkat akar rumput.
Kedua, Keturunan ke-15 Sunan Drajat. Yang paling penting dalam kultur Nahdliyyin adalah persoalan darah biru seseorang. Hampir selalu menjadi candaan dalam setiap obrolan santai, seseorang yang tidak berasal dari lingkungan darah biru akan sulit memimpin di NU.
Hemat penulis, mengukur seberapa biru darah seseorang adalah hal yang lazim di masa lampau, karena itu indikator paling umum seberapa sanggup seseorang untuk mengemban amanat. Namun, di zaman yang semakin modern dan rasional, status darah biru saja kurang cukup, tetapi harus disertai oleh prestasi.
Figur Kiai Ghofur memenuhi semua syarat. Ini yang menjadi alasan ketiga. Pesantren Sunan Drajat adalah warisan Walisongo, yang sekarang masih eksis. Untuk mempertahankan warisan budaya selama hampir 6 abad sejak abad 14 bukan perkara gampang. Hal itu membutuhkan sejauh mana masyarakat menaruh kepercayaan.
Sebuah lembaga pendidikan yang bertahan 6 abad menunjukan bahwa lembaga tersebut menjadi tempat umat belajar. Pemimpinnya adalah suri tauladan yang selalu jadi panutan. Itu terbukti dari tahun ke tahun pesantren Sunan Drajat asuhan Kiai Ghofur semakin diminati oleh masyarakat.
Jika dibandingkan dengan kepemimpinan PBNU yang sekarang, mencari figur pemimpin seperti Kiai Ghofur seperti mencari jarum dalam jerami. Tidak banyak keturunan langsung dari Walisongo dan mewarisi peninggalan Walisongo yang menjadi pemimpin PBNU hari ini. Oleh karenanya, adalah kebutuhan mendesak agar PBNU dipimpin oleh keturunan langsung Walisongo dan yang mewarisi tetinggalan Walisongo.
Salah satu ciri paling mudah untuk menandai siapa keturunan Walisongo adalah strategi perjuangannya yang mirip Walisongo, termasuk di bidang ekonomi. Kita lihat bagaimana para Wali adalah pengusaha. Sunan Ampel berbisnis emas, sehingga selat di Surabaya dikenal dengan sebutan Kalimas (Sungai Emas). Sunan Bonang mengajari masyarakat bertani dan membuat irigasi. Termasuk Sunan Drajat fokus pada advokasi sosial, mengentaskan kemiskinan, berdakwah yang menekankan etos kerja keras.
Inilah alasan keempat. Kiai Ghofur mewarisi spirit dakwah Sunan Drajat, dengan cara menjalankan berbagai perusahaan seperti penggalan kapal, industri pupuk, tambang batu kapur, peternakan, konveksi, perkebunan mengkudu, budidaya akuakultur, bahkan industri media radio dan televisi.
PBNU kini tampak kehilangan spirit kerja keras, tapi condong politik praktis dan pragmatis. Hal itu bisa dilihat salah satunya bersusah payah untuk mendapatkan janji konsesi tambang yang dijanjikan rezim, walaupun harus menabrak banyak standar moral. Setelah jatah konsesi didapat, mereka mencari investor eksternal untuk mengelolanya. Jadi, tinggal duduk berpangku tangan dan menerima jatah pembagian keuntungan.
Semangat kepemimpinan PBNU hari ini sama sekali tidak mencerminkan etos kerja keras dan kemandirian ekonomi yang dicontohkan oleh Walisongo, terutama Sunan Drajat. Oleh karenanya, warga NU sangat berharap Kiai Ghofur memimpin PBNU sebagai Rais 'Aam, agar PBNU betul-betul terlihat sebagai warisan Walisongo, bukan produk budaya populer yang pragmatis.
Alasan kelima, kedekatan Kiai Ghofur dengan Presiden Prabowo, bahkan persahabatan diantara keduanya ini sudah terjalin lama, sejak masih Danjen Kopasus, dan sebelum reformasi. Kemudian mendirikan partai dan selalu mendukung saat Pencapresan tiga kali. Fadli Zon menceritakan bahwa Kiai Ghofur bukanlah sosok asing di kalangan Gerindra. Beliau bisa dikatakan sebagai penasehat spiritual dan salah seorang penting pendiri Gerindra.
Bahkan Pesantren Sunan Drajat sering disebut sebagai tempat pertama ide mendirikan Partai Gerindra yang pada awalnya memiliki kepanjangan Gerakan Sunan Giri dan Sunan Drajat, sebelum akhirnya diresmikan menjadi Gerakan Indonesia Raya. Kyai Ghofur pernah menceritakan bahwa Prabowo seringkali datang ke pesantrennya jika sedang ada masalah atau bingung. "Dua hari lalu SBY dan istrinya menginap di sini. Insya Allah yang dateng ke sini jadi Presiden," tuturnya, seperti yang dikutip Detik.com 25/6/2014.
Terakhir, alasan keenam betapa layak Kiai Ghofur menjadi Rais 'Aam adalah semua langkah perjuangannya itu dilandaskan oleh pemikiran ilmiah dan disimpulkan dari riset panjang. Oleh karenanya, prestasi Kiai Ghofur diapresiasi oleh lembaga akademik internasional dari Amerika. Kiai Ghofur mendapatkan penghargaan Doktor Honoris Causa dari American Institute of Management Hawaii pada 2007, dan mendapatkan gelar Profesor karena melakukan penelitian ilmiah di bidang budidaya buah mengkudu.
Pertanyaannya sekarang, dari sekian orang pemimpin PBNU hari ini, siapa yang memiliki karya ilmiah yang diapresiasi oleh lembaga internasional dan memiliki manfaat besar bagi rakyat kecil, bagi santri dan masyarakat pesantren, bahkan masyarakat secara luas? Silahkan anda hitung sendiri. Oleh karenanya, kepemimpinan Kiai Ghofur di PBNU adalah satu-satunya jalan keluar dari kondisi yang belum berprestasi seperti sekarang.
Enam alasan di atas adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Oleh karenanya, mungkin kemusykilan kita semua dalam memilih pemimpin pada Muktamar NU Lampung adalah yang terakhir, karena di depan mata sudah banyak nama-nama yang bisa dipercaya untuk mengembalikan NU ke jalan Khitthah yang ditetapkan oleh para muasis NU dan yang diwariskan oleh Walisongo. Selalu ada harapan memiliki masa depan yang lebih baik dari sekarang. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Sumber: disway
Foto: KH Abdul Ghofur, pengasuh Ponpes Sunan Drajat, Lamongan. -Instagram KH Abdul Ghofur-