Hardjuno Wiwoho: Kasus Suap Ketua PN Jaksel, Perampokan Hukum Paling Brutal -->
Jum'at 25 Apr 2025

Notification

×
Jum'at, 25 Apr 2025

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Hardjuno Wiwoho: Kasus Suap Ketua PN Jaksel, Perampokan Hukum Paling Brutal

Senin, 14 April 2025 | April 14, 2025 WIB | 1 Views Last Updated 2025-04-14T03:46:16Z

Dugaan suap senilai Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam kasus vonis bebas terhadap tiga korporasi besar minyak goreng dinilai sebagai tindakan yang mengguncang fondasi keadilan di Indonesia. Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk “perampokan hukum paling brutal”.

“Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa yang tersisa dari negara hukum kita?” tegas Hardjuno dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (13/4). Ia menilai, praktik ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk terang-terangan dari penjualan hukum kepada kekuatan modal.

Menurut Hardjuno, suap yang melibatkan perusahaan swasta memiliki dampak lebih destruktif dibanding korupsi di birokrasi. “Korupsi birokrasi itu mencuri anggaran. Tapi suap korporasi membajak sistem. Mereka tak hanya menghindari hukuman, tapi juga mengendalikan arah negara melalui pengadilan,” jelasnya.
Ia menyoroti ironi di balik kebijakan pemerintah yang menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Sementara itu, korporasi yang menikmati subsidi justru mengamankan diri dari jerat hukum melalui suap. “Ini bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi juga pengkhianatan terhadap rakyat,” tegasnya.

Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung bersama tiga pihak lainnya. Suap tersebut diduga disalurkan melalui jaringan pengacara dan pejabat pengadilan untuk membebaskan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group dari tanggung jawab hukum.

Hardjuno, yang saat ini menempuh pendidikan doktoral di bidang Hukum dan Pembangunan di Universitas Airlangga, menilai kasus ini sebagai cerminan bahwa persoalan dalam sistem hukum bukan lagi sebatas moral individu, tetapi sudah menjadi persoalan struktural. “Kalau putusan bisa dibeli, rakyat kecil tak punya tempat berlindung dalam sistem hukum,” ujarnya.
Ia mendorong adanya pembenahan total di lingkungan Mahkamah Agung, termasuk pembentukan lembaga independen yang mengawasi gaya hidup, harta kekayaan, dan jejaring sosial para hakim. “Aliran dana sebesar Rp60 miliar ke ruang sidang tidak akan terjadi jika sistem pengawasan berjalan. Kita butuh audit total—menyeluruh dan berani,” tambahnya.

Lebih lanjut, Hardjuno menegaskan bahwa penindakan terhadap kasus ini tidak cukup hanya dengan hukuman pidana. Ia menekankan pentingnya pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai instrumen untuk memutus mata rantai korupsi. “Tanpa perampasan aset, penjara hanya jadi masa tunggu. Pelaku tetap bisa hidup nyaman dari uang kotor. UU ini penting agar negara dapat menarik kembali hasil kejahatan,” tegasnya.

Apresiasi untuk Kejaksaan Agung
Di sisi lain, Hardjuno memberikan apresiasi atas keberhasilan Kejaksaan Agung dalam mengungkap jaringan suap di tubuh peradilan. Ia menilai, pendekatan penyidikan yang dilakukan Kejagung dilakukan secara rapi dan menyeluruh.

Kasus ini, kata dia, bermula dari penyidikan kasus vonis bebas Ronald Tannur di Surabaya. Dari sana, penyidik menemukan barang bukti penting yang mengarah ke perkara lain, termasuk uang tunai hampir Rp1 triliun dan emas batangan di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung. Temuan tersebut membuka jalan bagi pengungkapan kasus suap Ketua PN Jaksel.

“Ini menunjukkan kerja serius, bukan asal gebrak meja. Kejaksaan bergerak berdasarkan bukti. Keberanian menelusuri aliran dana secara menyeluruh adalah langkah yang patut dihargai,” ujar Hardjuno.
Ia menekankan, keberhasilan ini bukan sekadar prestasi institusi, tapi menjadi sinyal bahwa penegakan hukum masih bisa menyentuh aktor-aktor besar yang selama ini nyaris tak tersentuh. “Ini bukan soal pencitraan. Ini soal integritas dan keberanian untuk membersihkan lembaga hukum dari dalam,” pungkasnya.

Foto: Hardjuno Wiwoho (Dok Pribadi)

×
Berita Terbaru Update
close