Lagu Genjer-Genjer dimainkan dalam pertunjukan jalanan, di Kota Solo.
Pertunjukan musik ini menyita perhatian publik.
Menurut X AgusWidodo @arwidodo, lagu tersebut dimainkan pada malam hari, 5
April 2025.
"Lagu Genjer-Genjer dinyanyikan di salah satu sudut pusat Kota Solo di
tengah keramaian, pada malam hari tanggal 5 April 2025," katanya, dikutip
Harian Massa, Rabu (9/4/2025).
Lebih lanjut, akun ini mengaitkan lagu tersebut dengan neo PKI.
"Awas bahaya laten neo PKI. Apakah ini hanya dipandang sebagai kebebasan dan
ekspresi lagu yang tidak punya makna," katanya.
Lagu "Genjer-Genjer" dinyanyikan di salah satu sudut pusat Kota Solo di tengah keramaian pada malam hari tgl 5 April 2025
Awas Bahaya Laten Neo PKIAPAKAH INI HANYA DIPANDANG SEBAGAI KEBEBASAN DAN EKPRESI SEBUAH LAGU YG TIDAK PUNYA MAKNA..!?!?!
KEMANA BIN !? pic.twitter.com/AyQiNNiB8U— AgusWidodo (@arwidodo) April 7, 2025
Unggahan ini pun mendapat kecaman netizen. Tidak sedikit yang mengkritik
akun tersebut miskin literasi.
Untuk diketahui, lagu Genjer-genjer diciptakan seniman rakyat Muhammad Arief
dan dipopulerkan oleh Lekra.
Sejumlah seniman non komunis juga turut mempopulerkan lagu ini, seperti Bing
Slamet dan Lilis Suryani.
Lagu Genjer-genjer membawa romantisme zaman revolusi dan menggambarkan
penderitaan rakyat, pada masa penjajahan Jepang.
Sejak dikenalkan pada tahun 1954, lagu Genjer-genjer mencapai puncak
popularitasnya, pada tahun 1962.
Awalnya, lagu Genjer-genjer diiringi dengan alat musik sederhana, yakni
angklung. Namun, enak juga dibawakan dengan irama hip hop.
Muhidin M. Dahlan, dalam bukunya Lekra Tak Membakar Buku mengatakan, lagu
Genjer-genjer bukan sekadar nyanyian.
"Tetapi membangkitkan semangat, serta menjadi seni rakyat: sebuah komposisi
progresif dan revolusioner," tandasnya.
Pada masa kepopulerannya, lagu Genjer-genjer dinyanyikan oleh semua
golongan, tidak hanya Lekra dan PKI.
Namun, Orde Baru menjadikan lagu Genjer-genjer sebagai musik pengiring film
propaganda anti-komunis.
Lagu Genjer-genjer pun akhirnya dilarang dan distigma PKI. Hingga kini,
stigma itu masih terus melekat.
Sumber:
harianmassa
Foto: Pertunjukan jalanan di Solo. Foto: Istimewa